Kecenderungan ini menciptakan tekanan ke pasar keuangan dan mendorong terjadinya flight to safety, yaitu investor mencari obligasi atau instrumen keuangan yang dianggap safe-haven (berisiko rendah).
Hal ini tercermin pada langkah Jepang yang menjual obligasi pemerintah AS secara besar-besaran yang menggambarkan tingginya ekspektasi resiko dalam memegang obligasi pemerintah AS.
Dimana pemeirntah Jepang memitigasi risiko kerugian akibat penurunan harga obligasi pemerintah AS jika dijual di pasar sekunder akibat kenaikan inflasi dan suku bunga The Federal Reserve (The Fed).
Langkah Jepang menjual obligasi pemerintah AS, dalam posisi Jepang sebagai salah stau pemegang terbesar obligasi pemerintah AS, membuat harga obligasi pemerintah AS turun tetapi ditawarkan dengan yield atau imbal hasil obligasi tinggi.
Penurunan harga obligasi pemerintah AS menciptakan beban baru bagi pemerintah AS karena harus menjual obligasi pada harga relative rendah, tetapi di masa depan harus membayar yield lebih tinggi.
Lalu apa yang dapat dilakukan untuk menghindari turbulensi di sektor keuangan yang dapat berdampak ke sektor riil dan melemahkan pertumbuhan ekonomi? Langkah pertama, mengurangi sentimen negatif investor di pasar modal yang dapat mendorong investor mengalihkan investasinya ke instrumen keuangan negara yang dianggap sebagai safe haven.
Langkah kedua, dalam rangka mengurangi aliran modal keluar baik oleh investor asing maupun investor lokal yang berdampak pada depresiasi ekstrim nilai tukar, maka Bank Indonesia (BI) dan kementerian keuangan dapat memberlakukan kebijakan pembatasan aliran modal (capital control).