Demikian juga negara-negara BRICS, seperti Brazil yang diperkirakan hanya tumbuh 2,0 persen, Rusia 1,6 persen, India 6,3 persen, dan Indonesia 4,8 persen pada tahun 2025. Sementara kawasan ASEAN diperkirakan tumbuh 4,4 persen pada tahun 2025 setelah sebelumnya tumbuh 4,5 persen pada tahun 2024
Ekonom senior, Lawrence Summers, mantan Treasury Secretary pada periode pemerintahan Presiden Bill Clinton memperkirakan bahwa terdapat sekitar 60 persen peluang terjadi resesi pada tahun 2025. Resesi adalah pertumbuhan ekonomi negatif selama dua periode berturut-turut.
Singkatnya, tarif Trump berdampak pada penurunan harga asset, ditandai oleh penurunan harga saham secara global. Hal ini mendorong margin call, yaitu permintaan broker kepada investor yang akan meminjam uang untuk membeli saham harus menyimpan deposit, berupa uang ke dalam account-nya sehingga hanya bisa membeli pada nilai minimum.
Akibatnya, investor di pasar saham menjual assetnya untuk memenuhi persyaratan margin call. Selanjutnya, hal ini memberikan tekanan untuk menjual saham di bursa sehingga menekan harga saham.
Terjadi peningkatan credit spread. Dimana credit spread adalah selisih antara yield to maturity (YTM) dengan besarnya benchmark rate. YTM adalah besarnya yield yang dapat diperoleh investor jika memegang obligasi hingga jatuh tempo. Dan benchmark rate adalah suku bunga acuan yang ditetapkan oleh bank sentral.
Selanjutnya treasury yield mengalami penurunan. Treasury yields mencerminkan besarnya suku bunga yang dibayarkan oleh pemerintah AS pada saat meminjam uang dengan cara menerbitkan Treasury security.