English English Indonesian Indonesian
oleh

Keadilan Butuh Bukti Ilmiah, Desakan Pembentukan Badan Forensik Nasional

Oleh: M. Aris Munandar

Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Unhas /
Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi

Di era sistem peradilan pidana modern, pembuktian tidak lagi hanya bersandar pada pengakuan tersangka atau keterangan saksi.

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengambil peran vital dalam menyingkap kebenaran secara objektif. Dalam konteks ini, forensik menjadi tulang punggung pembuktian tindak pidana pidana. Sayangnya, meski kebutuhan forensik semakin besar, Indonesia hingga kini belum memiliki Badan Forensik Nasional (BFN) yang terintegrasi dan independen.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), peran forensik memang tidak disebutkan secara eksplisit. Namun Pasal 133 ayat (1) KUHAP memberikan landasan penggunaan keterangan ahli, termasuk kedokteran kehakiman. Ketentuan ini menjadi dasar yuridis permintaan autopsi atau visum et repertum demi kepentingan peradilan. Akan tetapi, pembuktian pidana saat ini tidak hanya terbatas pada fisik korban, melainkan juga mencakup ranah digital dan elektronik.

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, informasi elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah, asalkan diperoleh sesuai prosedur hukum. Ini menandakan bahwa cakupan forensik kini telah merambah aspek kejahatan siber. Namun sayangnya, di Indonesia, layanan forensik masih tersebar dan sektoral: Puslabfor Polri, Lab Forensik Digital Kejaksaan, BNN, Kominfo, hingga BSSN. Ketiadaan satu lembaga pusat menyulitkan konsolidasi data, standar, dan akuntabilitas.

Sebaliknya, negara seperti Korea Selatan telah membentuk National Forensic Service (NFS) sejak 1955. Lembaga ini tidak hanya melakukan analisis ilmiah tetapi juga berfungsi sebagai otoritas ilmiah yang independen (Sumber: https://www.nfs.go.kr/). Di bawah Kementerian Dalam Negeri dan Keamanan (MOIS), NFS menjalankan investigasi medis, kriminal, hingga analisis digital secara netral dan profesional (Sumber: https://www.mois.go.kr/).

Jika Indonesia memiliki BFN, ia bisa menjadi lembaga lintas disiplin, menggabungkan ilmu kedokteran, kimia, biologi, digital, bahkan linguistik dalam satu atap. Tidak hanya sebagai laboratorium, tetapi juga pusat riset, pelatihan, pengembangan standar, hingga penjaga etika profesi forensik. Yang terpenting, ialah berdiri independen dari institusi penyidik maupun penuntut umum. Hal ini akan menutup celah conflict of interest dalam proses penegakan hukum.
Diskusi tentang perlunya BFN sejatinya sudah lama digaungkan. Misalnya dalam forum “Kriminolog Bicara Seri 14” tahun 2020 yang digelar Departemen
Kriminologi FISIP UI, Drg. Nurtamy, Ph.D., Sp.OF(K) menekankan pentingnya integritas dan independensi laboratorium forensik (Sumber: https://fisip.ui.ac.id/). Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pun turut mendorong pembentukan lembaga forensik independen di luar struktur Polri (Sumber: https://www.hukumonline.com/). Aspirasi ini menunjukkan adanya kebutuhan nyata dari berbagai elemen masyarakat.

Kasus kematian Brigadir J jadi pengingat keras: ketika publik tidak percaya hasil forensik, legitimasi hukum ikut dipertaruhkan. Dilakukannya autopsi ulang menjadi bukti bahwa tanpa lembaga netral, hasil analisis forensik rentan dipertanyakan (Sumber: https://news.detik.com/).

Kini, momen penyusunan RUU KUHAP adalah peluang emas. Selama ini, bukti forensik hanya ditempatkan sebagai surat atau keterangan ahli. Padahal, ia membutuhkan pengakuan tersendiri sebagai alat bukti yang memiliki karakter unik (sui generis). Dengan pengakuan eksplisit di KUHAP, bukti forensik akan mendapatkan legitimasi lebih kuat dalam proses peradilan pidana.

Pertanyaannya bukan lagi apakah mungkin membentuk BFN, tetapi kapan dimulai. Mengingat metode pembuktian kini sudah bergeser ke pendekatan Scientific Crime Investigation (SCI), Indonesia tak bisa lagi menunda. Bahkan dalam kasus Jessica Kumala tahun 2018, Mahkamah Agung menjadikan bukti forensik sebagai dasar putusan kasasi (Putusan No. 69 PK/Pid/2018). Ini adalah pengakuan yudisial atas pentingnya forensik.

Badan Forensik Nasional bukan hanya laboratorium, ia adalah simbol komitmen negara untuk menjunjung kebenaran ilmiah sebagai pilar keadilan dalam pembuktian tindak pidana. Sebagaimana asas hukum pidana yang berbunyi “in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores” yang artinya “dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya”. (*/)

News Feed