Pada awal masa tanam, petani karet biasanya mengambi kredit dari BRI untuk keperluan pembelian pupuk, racun tanaman dan lain sebagainya. Untuk perawatan hingga panen, idealnya, kata dia, butuh waktu lima tahun. Namun, oleh warga setempat biasanya rentan tiga sampai empat tahun sudah melakukan sadap.
Sadap dilakukan untuk mendapatkan lateks atau getah yang akan diolah menjadi berbagai produk karet. “Kenapa cepat panen, karena masyarakat butuh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan. Apalagi, ada biaya yang dikeluarkan untuk beli pupuk, racun dan biaya pemeliharaan lainnya,” jelasnya.
Untuk modal pemeliharaan, lanjutnya, bervariasi setiap petani, tergantung luas lahan kebun. Ada yang punya ¼ hektare, ½ hektare, 1 hektare dan di atasnya. Minimal dana beli pupuk dan racun Rp1,5 juta. Belum lagi biaya-biaya lain.
Untuk proses sadap, biasanya petani melakukannya di pagi hari berkisar pukul 06.00. Sebab, lewat pukul 10.00, cairan getah tidak mengalir lagi atau tidak deras. “Terkadang satu atau dua minggu dikumpul lagi dalam bentuk air baskon,” tambah.
Hasil sadap tersebut kemudian dijual ke tengkulak yang memang masuk di desa tersebut membeli hasil perkebunan warga. Ada juga pedagang besar yang masuk mengumpul. Kemudian, dibawa langsung ke Makassar, ada yang dikirim langsung ke Surabaya.
Untuk harga jualnya, sama seperti hasil perkebunan lainnya, berfluktuatif. Pekan lalu, lanjutnya, masih Rp14 ribu per kg. Pernah juga harga turun Rp10 ribu per kg. Harga dipengaruhi oleh cuaca. Penjualan dilakukan biasanya di weekend atau setiap Sabtu dan Minggu.