English English Indonesian Indonesian
oleh

Kedaulatan Budaya

Oleh: Halim HD
Networker-Organizer Kebudayaan

Kita atau banyak diantara warga masyarakat yang kagum dan menggemari drakor. Tapi berapa diantara kita yang benar benar bertanya dan melacak, kenapa drakor dan produk budaya Korea dalam berbagai wujudnya bisa melanglang buana dan menjadi gejala global?

Sejarah modern pada tengah abad XX melahirkan berbagai pandangan tentang kebudayaan berkaitan bangkitnya negeri-negeri jajahan menjadi nation state. Salah satu negeri itu adalah Korea, yang dengan dukungan serta kepentingan Amerika menjadikan suatu negeri yang selalu cemas oleh permusuhan lantaran ideologis dan militer, membuat Korea selalu siaga. Amerika berhasil ikut membentuk, menciptakan paranoia ideologis dalam berbagai seginya. Dan salah satunya dengan cerdas oleh rezim rezim di Korea dirumuskan dalam wujud pembentukan kebudayaan nasional.

Kebudayaan nasional Korea yang banyak dipengaruhi oleh Tiongkok, dan saling silang dengan Jepang dan pada sisi lainnya pada posisi geografis yang dikepung oleh kekuatan raksasa Asia Timur, Tiongkok dan Jepang, membuat Korea harus melacak akar kebudayaannya. Itulah yang menarik. Betapa anda tidak bisa membayangkan suatu rezim militer yang cenderung punya keinginan menguasai seluruh elemen sosial dengan konsep diktator dan otoritarianismenya dan militerisme menjadi ujung tombak merumuskan nasionalisme, suatu kedaulatan kebudayaan. Park Chung-Hee, sang jenderal yang mengawalinya dan dikudeta oleh Chun Do Hwan yang juga jenderal namun konsep kedaulatan kebudayaan diteruskan bahkan dilanjutkan secara intensif.

jika kita kini menyaksikan drakor dan berbagai produk kebudayaan yang menyebar ke berbagai penjuru dunia, itu merupakan suatu proses selama empat puluh tahun dari rezim ke rezim memegang kedaulatan kebudayaan sebagai basis dari kehidupan masyarakat. Tentu saja kedaulatan kebudayaan itu kuat kaitannya dengan kehidupan industri dan pengembangan aspek ekonomi lainnya yang didukung oleh pengembangan teknologi. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang mereka gali dari Amerika dan Eropa mereka benamkan menjadi benih di dalam proses penguatan kedaulatan kebudayaan.

Riset riset sejarah mereka melahirkan rumusan konservasi yang membuat kaum muda merasa bangga. Jika kita menyaksikan drakor, betapa tata artistic film film itu didukung oleh kapasitas mereka di dalam merumuskan estetika lokal mereka menjadi material yang menguatkan nasionalisme. Praktek itulah yang menjadikan industri kreatif Korea menjadi kekuatan ekonomi. Dan disitu pula kita menyaksikan betapa gairah dahsyaat kaum muda Korea mengekspresikan diri, dan sekaligus juga menyatakan bahwa melalui khasanah tradisi mereka mengelola dan menjadi tradisi baru di dalam kehidupan modern.

Ketika Korea masih semi-dijajah oleh Amerika dengan alasan paying keamanan, belasan tahun sebelumnya Soekarno pernah menyatakan tentang kedaulatan kebudayaan. Kebudayaan sebagai modal kepribadian nasional. Bukankah Sukarno pada periode awal 1950-an datang ke Makassar dan bertemu dengan Andi Nani Sapada, seorang remaja penari, dan memintanya untuk menciptakan suatu karya kolaboratif empat etnis, Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar? Jika kita melacak sejarah moderen kita, sesungguhnya negeri ini pernah memiliki kaum pemimpin yang dengan kesadaran tinggi merumuskan kedaulatan kebudayaan sebagai senjata dan juga modal untuk mengembangkan rasa kebangsaan dan sekaligus sebagai basis material di dalam proses pembentukan nation state, negara kebangsaan yang kita sebut Republik Indonesia.

Pertanyaan kita, kenapa jejak itu kini kian menghilang? Kenapa kini ketika kita bicara tentang kebudayaan hanya dianggap sebagai lip service oleh kaum politisi dan pengelola daerah? Kenapa pula kaum politisi kini tak memiliki kedaulatan kebudayaan, sementara mereka bicara soal nasionalisme? Bagaimana mereka bicara masalah nasionalisme jika mereka tak memiliki kesadaran dan praktek terhadap kedaulatan kebudayaan? Kita menyaksikan betapa kaum elite kita, politisi dan pengelola daerah memamerkan gaya hidup yang jauh dari rasa keprihatinan yang didasarkan pada kesadaran kedaulatan kebudayaan? Realitas kehidupan sosial kaum elite yang jauh dari kesadaran kedaulatan itu terasa nampak dalam pola hidup yang konsumtif, dan tradisi hanya dijadikan fesyen.

Jika kita kini merasakan kondisi krisis kebudayaan di lingkungan hidup kita, yang paling merasakan sesungguhnya kaum muda dan anak-anak. Dampak dari krisis kebudayaan kita karena krisis kepemimpinan yang tak memiliki pijakan kesadaran kedaulatan kebudayaan, sehingga kaum elite tak memiliki pijakan koral untuk membentuk benteng kebudayaan, di antara laju deras kebudayaan luar yang merasuk ke ruang-ruang rumah tangga. Dan pada sisi lainnya kita juga kian kehilangan rasa musyawarah dan silaturahim untuk merumuskan Kembali gagasan kedaulatan kebudayaan yang pernah kita miliki.

Dalam konteks itulah tulisan ini saya sampaikan kepada publik sehubungan lontaran Pak Halilintar Lathief yang selalu gelisah dengan kondisi krisis kebudayaan di lingkungan kita. Kita harus kembali merenungkan lontaran kedaulatan kebudayaan bukan karena kita cemas oleh hanya serbuan kebudayaan dari luar melalui teknologi informasi. Tapi juga karena kita secara kasat mata melihat, krisis kebudayaan karena tingkah laku dan praktek politik kaum politisi dan elite pengelola daerah yang kian menjauh dari cita cita negeri ini. -o0o-

News Feed