FAJAR, PINRANG — Di bawah kaki Gunung Paleteang, puluhan petani menatap sawahnya dengan mata kosong.
Lahan yang dahulu menjadi sumber kehidupan, kini perlahan berubah menjadi kubur harapan. Setiap musim, mereka tidak lagi menunggu panen dengan gembira, melainkan dengan cemas karena hasilnya hampir selalu sama yakni gaga panen.
Sudah bertahun-tahun, para petani di wilayah Lingkungan Ta’e, Kelurahan Tammasarangge, Kecamatan Paleteang, harus menelan pahitnya kerugian.
Mereka menunjuk satu penyebab yang terus menghantui yakni aktivitas tambang di Gunung Paleteang.
“Kalau kemarau, debunya dari mobil tambang itu masuk semua ke sawah. Padi rusak, tidak bisa tumbuh bagus. Tapi kalau hujan, air dari gunung malah rendam semua sawah. Hancur juga,” ujar IS, seorang petani yang kini hanya bisa menatap separuh karung padi dari 10 are sawah miliknya.
IS baru saja panen dua hari lalu. Tapi “panen” yang ia maksud hanyalah sisa. Setengah karung gabah dari lahan yang dulu bisa memberinya berkarung-karung hasil panen.
Hal serupa dirasakan LT, petani lainnya yang mengelola dua hektare sawah. Biasanya ia bisa membawa pulang 100 karung padi. Kini, hanya sepuluh.
“Sudah hampir 20 tahun seperti ini. Setiap tambang beroperasi, gagal panen terus,” katanya.
Debu yang beterbangan dari lalu-lalang truk tambang menyelimuti daun padi. Ketika padi hendak berbuah, partikel halus itu menutup jalan hidupnya.
Lalu ketika hujan datang, air yang mengalir dari tambang memenuhi aliran irigasi, membuat sawah-sawah tenggelam dalam diam.