Formula tarif Trump dinilai tidak memiliki landasan teori ekonomi yang solid. Formulanya hanya mempertimbangkan surplus atau defisit perdagangan dengan suatu negara dibagi dengan total impor dari semua negara dikali elastisitas permintaan terhadap harga barang impor (bernilai 4) dikali elastisitas harga terhadap tarif barang impor (bernilai 0,25).
Sebagai contoh, tarif impor terhadap China diperoleh dari pembagian antara defisit perdagangan AS – China sekitar 295 milyar dolar AS dibagi total impor AS dari semua negara sebesar 440 milyar dolar AS sama dengan 67 persen. Hasil akhirnya adalah 67 persen dibagi dua sehingga diperoleh besaran tarif 34 persen.
Formula yang sama diberlakukan terhadap Indonesia sehingga diperoleh tarif sebesar 32 persen, Afrika Selatan 30 persen, India sebesar 26 persen, Malaysia 24 persen, Vietnam 46 persen, Kambodia 49 persen dan Thailand 36 persen.
Formula ini menunjukkan bahwa semakin besar surplus perdagangan dari suatu negara terhadap AS maka semakin besar tarif impor yang diberlakukan terhadap negara bersangkutan.
Kebijakan tarif Trump menimbulkan ketidakpastian perekonomian global yang tercermin pada harga saham di berbagai negara yang mengalami penurunan. Dimana investor dalam jangka pendek, khususnya di Emerging Market Economies (EMEs), seperti Indonesia merelokasi portofolionya ke asset negara yang dianggap aman (safe-haven).
Demikian juga dengan nilai tukar mengalami depresiasi karena capital outflow, investor mencari mata uang safe-haven. Hal ini terjadi dengan rupiah yang terdepresiasi hingga 17.261 per dolar AS.