Kini, Mak Judess memiliki tujuh varian produk, di antaranya sambal tuna, sambal teri, sambal cumi, sambal udang, sambal bawang, abon tuna, hingga abon ayam. Produksinya mencapai 2,5 ton per bulan dengan jumlah karyawan yang terus bertambah menjadi 16 orang. Setiap toples sambal yang keluar dari dapur itu membawa cerita tentang kerja keras dan kebersamaan.
Namun jalan Ayu tidak selalu mulus. Tantangan datang silih berganti, terutama dari sisi bahan baku. Harga cabai yang fluktuatif dan ketersediaan ikan tuna yang tak selalu stabil menjadi cobaan tersendiri. “Ada masa-masa di mana harga cabai tinggi dan stoknya langka. Mau tak mau produksi harus dikurangi. Itu berpengaruh pada penghasilan dan distribusi,” ujarnya.
Tapi Ayu tak menyerah. Ia terus berinovasi, mencari solusi, bahkan menyimpan stok bahan baku saat musim panen agar bisa bertahan ketika masa sulit datang. Ia juga menjaga hubungan baik dengan petani dan nelayan, memastikan bahwa Mak Judess tetap menjadi usaha yang memberdayakan banyak pihak.
Tak berhenti di dalam negeri, sambal Mak Judess kini telah mengarungi samudra. Rasa pedasnya telah dinikmati di Nigeria, Mesir, Taiwan, Hongkong, hingga Australia. Tentu saja, Ayu tak serta-merta mengirim sambal begitu saja ke negara-negara itu. Ia dan timnya melakukan riset mendalam—menyesuaikan racikan rasa dengan preferensi lidah masyarakat setempat.
“Di Australia misalnya, mereka lebih suka sambal yang manis dan tidak terlalu asin. Sedangkan di Hongkong, justru sebaliknya—lebih asin dan berminyak. Kami sesuaikan, tapi tetap menjaga cita rasa dasar khas Sulawesi,” jelas Ayu. Ia percaya bahwa sambal bukan hanya makanan, tapi juga representasi budaya. Maka harus bisa berbicara dalam bahasa rasa yang bisa diterima semua orang, tanpa kehilangan identitas.