Oleh: Muliyadi Hamid
Hampir jam 2 siang hari Sabtu, hari kedua terakhir bulan Ramadan 1446 H (29/3) melalui whatsApp Group Humas Unifa, salah seorang dosen mengabarkan jika Prof. Dr. H. Halide baru saja meninggal dunia. Tak berapa lama hampir semua group whatsApp di gadget saya mengabarkan hal yang sama. Guru besar Ekonomi Unhas yang juga dikenal sebagai mubalig yang konsisten, khususnya pada aspek ekonomi syariah islam benar-benar telah tiada.
Beliau meninggal setelah dirawat beberapa hari di RS Unhas. Beberapa tahun terakhir memang beliau sudah tidak beraktivitas diluar rumah karena penyakit yang diderita. Beliau meninggal dalam usia 89 tahun.
Bagi kami di Universitas Fajar, Prof. Halide bukan sekadar Guru Besar dan mubalig yang konsisten, tapi beliau adalah peletak dasar budaya akademik yang terbentuk di Unifa hingga saat ini. Beliau adalah Rektor pertama di Unifa. Beliau menjabat sebagai Rektor selama dua tahun. Tahun 2008 hingga 2010.
Meski sesungguhnya berdasarkan Statuta Unifa, masa jabatan Rektor adalah empat tahun. Tapi beliau memang sejak awal menyampaikan kepada Pengurus Yayasan yang kala itu ketuanya adalah mendiang Pak Alwi Hamu dan Saya sebagai Sekretaris jika beliau hanya bersedia menjadi Rektor selama dua tahun. Tapi yayasan tetap menerbitkan SK untuk satu priode 4 tahun.
Ternyata beliau ingin berhenti di momen ulang tahun ke 75 pada September 2010.
Sejak usulan peleburan tiga Perguruan Tinggi Fajar yakni, STIKOM, Akpar, dan Akademi Akuntansi Fajar menjadi Universitas Fajar Prof. Halide sudah mulai terlibat dalam mengarahkan tim pengusul sebagai calon Rektor. Saat itu beliau sangat menginginkan agar STIM Nitro juga dilebur ke Unifa. Pertimbangan beliau adalah sulit dalam lokasi yang sama ada dua kampus.
Kedua, di Unifa juga membuka program studi Manajemen dan Akuntansi yang mirip dengan prodi di STIM Nitro. Berkali-kali disampaikan usul ini ke pak Alwi. Sementara pak Alwi sendiri tidak pernah tampak tegas menolak usulan beliau. Kita tahu betul bahwa keduanya bersahabat ketika masih sama-sama jadi aktivis di Kampus. Tapi Prof.Halide lebih senior. Pak Alwi tampak segan sama beliau.
Menjelang surat usulan dikirim ke Dikti, saya sebagai sekretaris yayasan menghadap sama Pak Alwi untuk meminta keputusan akhir, apakah STIM Nitro ikut dilebur atau tidak. Pak Alwi tampak merenung agak lama. Memikirkan secara mendalam pertanyaan saya. Setelah berpikir lama, pak Alwi memutuskan untuk tidak menggabung Nitro. Alasannya, Nitro punya kultur dan orientasi pendidikan yang berbeda. Market segmennya juga berbeda. Mahasiswanya punya uniform khusus yang tentu berbeda dengan Unifa.
Prof. Halide mengetahui jika Nitro tidak bergabung justru sesudah izin Unifa terbit. Beliau mungkin kecewa, tapi juga menyadari jika itu sepenuhnya menjadi kewenangan Pengurus Yayasan Pendidikan Fajar. Kekesalan beliau dia tunjukkan pada saya suatu hari. Kala itu, Fajar TV dalam acara bincang pemirsa membahas mengenai pendirian Unifa. Narasumbernya Rektor yang waktu sudah resmi dijabat oleh Prof. Halide dan saya mewakili Yayasan Pendidikan Fajar.
Salah satu pemirsa yang bertanya alasan mengapa Nitro tidak dilebur. Jawaban saya adalah bahwa visi yayasan adalah akan menaungi tiga bentuk Perguruan Tinggi besar menurut UU. Yakni Universitas, Institut, dan Politeknik. STIM Nitro dipersiapkan untuk menjadi cikal bakal lahirnya Institut Banking dan Keuangan. Sementara program-program vokasi yang sudah ada akan digabung dalam sebuah perguruan tinggi berbentuk Politeknik.
Seusai siaran tersebut, beliau marah pada saya. Beliau menyampaikan kalau tidak menyangka sayalah desainer tidak bergabungnya Nitro dalam Unifa. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi jika pengurus yayasan, khususnya ketua yayasan pak Alwi Hamu tidak memutuskan demikian.
Sebagai Rektor Unifa, beliau meletakkan dasar-dasar integritas akademik dan kedisiplinan yang tinggi. Berkomitmen penuh pada tugas-tugas akademik. Setiap dosen wajib memiliki lecturer Note semacam ringkasan bahan kuliah yang harus disajikan pada mahasiswa. Beliau sangat konsen memantau kehadiran dosen. Karena itu, tingkat kehadiran dosen selalu dibahas pada setiap rapat akademik semesteran. Kalau rapat, jangan coba-coba terlambat hadir.
Anda pasti akan langsung dapat teguran dalam forum. Seperti biasa, sebagai orang tua beliau tak pernah memedam amarah pada kami. Selalu ingin melihat kami sebagai anak muda yang tumbuh punya integritas dengan kultur akademik yang mumpuni.
Ada hal menarik. Suatu ketika beliau menerapkan aturan jika hari Sabtu itu adalah hari berbahasa Inggeris. Semua dosen dan karyawan harus berbahasa Inggeris hari itu. Hari Sabtu juga beliau jadwalkan rapat staf secara rutin. Ternyata beberapa pekan yang hadir dalam rapat ternyta hanya beberapa orang saja. Ahhirnya beliau menyadari jika rapat tidak pernah efektif. Kebijakannya diubah. Semua karyawan harus mengikuti kursus bahasa Inggeris. Beliau yakin jika bahasa asing itu sangat perlu bagi seorang insan akademik.
Kami semua merasa sebagai anak-anak beliau yang rela mendapat pelajaran dengan cara apapun, termasuk diberikan sanksi dan teguran lisan. Kini, beliau sudah tiada. Tak terbatas jasa-jasa yang telah ditorehkan di Unifa dan pada kami semua. Insya Allah semua itu akan menjadi amal jariah buat beliau. Selamat jalan orang tua kami, Prof. Halide. Insya Allah jasamu akan tetap terpatri bagi segenap civitas akademika Unifa. (*)