Bilal Berbahasa Bugis Sulit Regenerasi
FAJAR, BONE–Dahulu, pada 1980-an, Masjid Lil-Muttaqin masih berupa musala. Namun, pada awal 1990-an, berubah menjadi masjid. Namanya tetap, Masjid Lil-Muttaqin.
Selintas, perubahan status musala di Bone Barat, Desa MamminasaE itu tidak ada yang istimewa. Yang tidak lazim adalah ketika musala itu hendak ditempati salat Jumat, taraweh, hingga salat Idulfitri/Iduladha. Usaha itu penuh perjuangan. Ada tantangan dari kepala desa pada era 1980-an.
Yang lebih menarik lagi karena yang memperjuangkan adalah para remaja. Di samping menjadi remaja masjid, mereka tergabung dalam kelompok pesepak bola dan voli. Mereka bukan ustaz. Ada yang salatnya masih bolong-bolong. Ada yang bahkan puasa Ramadannya tidak utuh. Namun, mereka rajin pergi bangunkan warga untuk sahur. Mereka bahkan kerap menginap di masjid pada Ramadan agar tidak terlambat membangunkan warga bersahur.
Mereka menghidupkan masjid atas kesadaran kolektif keremajaan. Awal-awal memperjuangkan perubahan status dan peningkatan fungsi, mendapat tantangan berat dari kepala desa pada tahun 80-an itu. Alasan kepala desa, ada masjid di ibu kota desa untuk ditempati Jumatan dan taraweh. Terlebih kalau untuk Idulfitri/Iduladha. Kepala desa pada saat itu juga mengkhawatirkan adanya kerenggangan hubungan silaturahmi antardusun.
Sebaliknya, pihak remaja beralasan bahwa masjid di ibu kota desa jaraknya jauh. Lebih satu kilometer.
Untungnya desa Mattampa Bulu itu dimekarkan. Perjuangan remaja terus berlanjut. Usaha mereka pun terkabul. Pada 1990-an, musala itu berubah status. Namanya, Masjid Lil-Muttaqin. Mulailah ditempati salat Jumat dan taraweh. Untuk salat Idufitri, masih dilakukan di lapangan, di samping masjid. Sekarang sudah di dalam masjid. Bangunannya sudah bagus. Donaturnya, masyarakat setempat di Dusun Coppo Taluma. Sebagian donasi dari warga dusun yang merantau ke Tarakan, Kalimantan.
“Yang harus dirawat sekarang adalah semangat remaja,” kata H.M. Nur, pengusaha walet yang menjadi salah satu donatur masjid tersebut.
“Kita bersyukur melihat kekompakan remaja masjid sekarang yang tidak saja mengurus masjid, tetapi terjun langsung mengurus jenazah hingga ke penguburan,” kata Zulhamsah, generasi remaja 1990-an.
Satu-satunya peran yang sulit dilakukan remaja sekarang adalah bilal Idulfitri/Iduladha (penuntun tata cara melaksanakan salat Id) dalam bahasa Bugis (Mappakkedek).
Petugas bilal belum ada yang bisa ganti sejak 1990-an sampai salat Idulfitri 1446 H (2025). Namanya, Kamaruddin. Usianya sudah 57 tahun.
Mengapa belum bisa diganti, padahal sudah banyak remaja generasi setelahnya? Ternyata, melantunkan kalimat (bilal) dengan bahasa Bugis (Mappakkeddek), tidak gampang.
“Sudah banyak yang kami latih, tapi belum berani tampil. Mungkin juga persoalan bahasa dan kekhusyukannya,” ujar Kamaruddin. Setiap kali melantunkan kalimat “mappakkedek”, banyak jemaah yang meneteskan air mata. Mereka terharu.
Lagi-lagi, dalam perjalanan lebih 37 tahun ini (2025), perjuangan belum usai. Remaja sekarang yang demikian aktif di masjid Lil-Muttaqin harus mampu mewarisi kemampuan (bilal) untuk “Mappakkeddek”.
Bukti perjuangan dan salat Idulfitri pertama pada 1990-an itu dimuat di Harian Pedoman Rakyat dengan judul, “Keharusan Menorehkan Sejarah.”
Mereka juga menorehkan sejarah dengan mengantar masjid Lil-Muttaqin meraih juara pertama dalam kategori keaktifan remaja pada 1991. Satu-satunya masjid di Kecamatan Lamuru Bone yang remajanya menerbitkan buletin (media publikasi internal) pada 1990-an.
Hingga salat Idulfitri 1446 H (2025), fenomena remaja menghidupkan masjid begitu tampak. Begitu remaja yang rata-rata belasan tahun berfoto bersama, Fajar tiba-tiba terhenyak. Regenerasi remaja peduli masjid menjadi sebuah fenomena tersendiri.
Tampaknya, membangun karakter remaja dari masjid senantiasa relevan untuk terus mendapat perhatian. Semangat mereka harus dirawat dalam bingkai edukasi berbagai dimensi. (Basri Abbas).