Oleh: Ahmad Habibi Baharuddin (Ketua Bidang Maritim DPD IMM Sulawesi Selatan)
Idul Fitri merupakan momentum berakhirnya Ramadan yang jatuh pada tanggal 1 Syawal. Idul fitri dimaknai sebuah keadaan hamba yang kembali menjadi suci setelah melakukan syarat peribadan utuh selama sebulan lamanya, layaknya janin yang masih dalam Rahim sang Ibu telah diberkati fitrah dari Tuhan. Idul Fitri juga dimaknai sebagai kembalinya fitrah hamba kepada Tuhan, atau kembalinya tujuan sebenar-benarnya hamba diciptakan untuk takwa kepada Allah Swt.
Menurut al-Qurthubi bahwa fitrah sebuah keadaan kesuciyan jiwa dan rohani. Maksud dari fitrah ialah sebuah firman Allah Swt yang ditetapkan kepada manusia, bahwa manusia dilahirkan dalam keaadan yang suci tanpa memiliki dosa apa pun. Setelah peniupan ruh dan persaksian janin kepada Allah Swt, maka sucilah dirinya yang lahir sampai beranjak baligh untuk menerima amanah perintah dari Allah Swt.
Allah Swt telah menyebutkan fitrah dalam QS al-Rum/30:30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Ulama sepakat bahwa seluruh anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun jika ada yang terlahir sebagai Nasrani, Majusi maupun Yahudi, itu dikarenakan oleh orang tuanya. Konotasi fitrah dalam QS al-Rum/30:30 ini bahwa Allah Swt memberikan potensi ma’rifatul iman atau potensi beriman berkenaan waktu penciptaannya. Potensi ini dapat dikembangkan oleh setiap orang untuk mencari kebenaran yang hakiki. Maka, Allah Swt telah memberikan kita fitrah atau potensi untuk beriman, namun manusia sendirilah yang bertanggung jawab terhadap pengejewantahannya berupa perbuatan. Ini berarti bahwa manusia benar-benar bertanggung jawab atas segala perbuatannya sendiri. Sementara persesuaian dari QS al-A’raf/7:172 bahwa akidah tauhid itu adalah fitrah manusia, Allah Swt menciptakan manusia dengan kodrat yang hanif atau berpihak kepada kebenaran sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengimani dan mengamalkan ajaran Islam.
Prof Quraish Shihab menjelaskan bahwa Rasulullah Saw walau pun telah dijamin tempatnya di surga, tetapi itu adalah bentuk keridhaan Allah Swt, bukan semata-mata dari segala amal perbuatan Rasulullah saja. Walau demikian, sebagai hamba Allah Swt dengan tanpa jaminan kedudukan di akhirat kelak, maka seharusnya kita tidak henti-hentinya meminta permohonan ampun dan pertolongan dari Allah Swt, hal ini mereflaksikan kita bahwa fitrah sebatulnya upaya hamba untuk meraih ketakwaan disisi Allah Swt.
Al-Kisah berceritra, Allah Swt menerima salah satu pengorbanan dari anak Adam As (Habil) dan pengorbanan dari salah satu anak Adam As lainnya (Kabil) tertolak oleh Allah Swt, tatkala Kabil membunuh Habil. Mendengar ancaman pembunuhan maka habil hanya berkata sesungguhnya Allah Swt hanya menerima amal perbuatan dari orang yang bertakwa. Ternyata penyebab dari tertolaknya persembahan dari kabil karena tidak sepenuh hati, tanpa adanya keikhlasan. Berbeda degan Habil dengan ketulusan hatinya tanpa adanya kesombongan saat memberikan pengorbanan. Hal ini dapat menjadi cerminan kita beribadah kepada Allah Swt selama sebulan penuh beribadah kepada Allah Swt. Apakah dengan sepenuh hati atau sebaliknya.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Bidang Riset Teknologi, Muh. Akmal Ahsan bahwa perayaan idul fitri di Indonesia terjadi fenomena yang berbeda dikalangan masyarakat yang jauh dari nilai-nilai keislaman, namun justru memicu sebuah kesombongan dalam ajang pamer-pamer.
“Idul Fitri merupakan nilai-nilai dari kemenangan telah melawan hawa nafsu meterialisme dan egoisme diri. Namun Ironisnya (dalam perayaan idul fitri) orang-orang menjadi hedon, menjadi ajang pamer sosial dari baju baru dan hidangan berlimpah yang semuanya dipertontonkan tanpa adanya rasa malu, itu menjadi paradoks dari perayaan idul fitri,” dikutip dari menteng_intitute.
Perayaan idul fitri tahun ini harus dikembalikan pada fitrah yang sesungguhnya, bukan lagi memamerkan hal-hal yang sifatnya duniawi semata, melainkan hal tersebut hanya menjadi motivasi untuk bermunasabah diri untuk berbenah agar meraih tujuan utama menjadi insan yang bertakwa.
Dalam QS al-Maidah/50:100 Allah Swt menjelaskan:
قُلْ لَّا يَسْتَوِى الْخَبِيْثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ اَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيْثِۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَࣖ
Artinya: (Nabi Muhammad), “Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka, bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang berakal sehat agar kamu beruntung.”
Kata al-Khabis pada penggalang ayat ini disebut sebagai sesuatu yang tidak disenangi karena keburukan atau kehinaannya dari segi material atau immaterial, baik menurut pandangan akal maupun syariat. Ayat ini juga menyebutkan kata al-Thayyib yaitu hal yang baik dan diperintahkan dan boleh dilakukan oleh agama maupun akal sehat. Singkatnya, yang dibolehkan untuk agama tidaklah buruk dalam subtansinya, dan begitu pula sebaliknya bahwa apa pun dari keburukan itu tidak disukai oleh Allah Swt. Ayat diatas menegaskan bahwa orang-orang yang berakal pasti tidak mudah terpegaruh dengan kenikmatan dunia yang hanya mendatangkan kekufuran.
Sehubungan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1446 H ini, maka kita telah menyelami pendidikan karakter Islami selama sebulan lamanya. Umat muslim telah melalui fase Tahalli, Takhalli dan Tajalli sebagimana yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali bahwa hal tersabut merupakan proses pendekatan diri kepada Allah Swt dimana saat meraih ketiga fase tersebut selama Ramadan, sehingga dibutuhkan Istiqamah setelah melakukan Pendidikan Islami ini selama sebulan. Maka sangat beruntunglah orang-orang yang mendapat hari raya Idul fitri dengan mensucikan jiwa dengan berakhlakul mahmudah atau yang senantiasa membersihkan jiwa-jiwanya dari kotoran yang akan mendatangkan dosa. Semoga kita semua merupakan orang-orang yang meraih fitrah sesungguhnya, serta istiqamah dan selalu dalam perlindungan Allah Swt. Wallahu A’lam Bissawab.