”Yang lebih parah, kami itu tidak ada stempel pembina, stempel pengurus, stempel pengawas. Stempel ya cuma satu, milik yayasan saja yang dipegang oleh ketua. Karena apabila ada rapat, operatornya ketua yayasan, itu sesuai anggaran dasar yayasan,” jelasnya.
Anehnya lagi, kata Muara Harianja, Raymond Arfandy datang ke kampus untuk meminta serah terima yayasan. Namun itu ditolak oleh yayasan lama, karena dianggap tidak sesuai dengan aturan yang muncul secara tiba-tiba.
”Saya bilang tunggu dahulu, meski pun kamu ada akte baru dan AHU, bukan berarti kamu berhak. Belum ada serah terima, apalagi di sini ada manajemen, ada surat-surat, ada kantor, semua harua dilalui dulu,” ucapnya.
Selain itu, masih ada juga proses pengadilan yang sedang berjalan. Sehingga, yayasan menganggap Raymond tidak bisa melakukan apa pun, terlebih lagi masuk ke kampus. Sebab Raymond dianggap hanya memegang kertas yang kekuatannya masih diuji di Pengadilan.
”Mereka ini terlalu memaksakan kehendak. Seharusnya, kalau memang mengerti hukum, tunggu saja lah sampai selesai ini proses. Jadi kami tidak mau bertindak di luar hukum, jadi kita harus menghormati itu,” tuturnya.
Pada intinya, kata Muara, ini terjadi karena mereka tidak terima diberhentikan. Mereka merasa memiliki dan punya hak membuat AD/ART baru. Mereka datang ke pihak John untuk minta serah terima karena John memiliki yang asli, dan ingin masuk dengan akte baru agar John diusir.
”Kasarnya, mereka ini mau ambil alih yayasan secara paksa dari kami. Padahal sertipikat tanah punya kita, akte-akte di tangan kita, pembelian dan kwitansi ada di tangan kita. Jadi ada empat bidang tanah di Tanjung Bunga, dibeli Pak John harga Rp149 juta tahun 1982, sampai sekarang sertipikat ada di tangan beliau,” tuturnya.