English English Indonesian Indonesian
oleh

Ramadan dan Fenomena Religiusitas Bersifat Musiman

Oleh: Fahriady Zein
Alumni UINAM dan Kader GP Ansor Kota Makassar

Almarhum Buya Syafi’i Maarif, seorang guru bangsa yang namanya akan selalu hidup dalam ingatan para penggemarnya, pernah mengatakan tentang istilah “idealisme musiman” dalam salah satu tulisannya berjudul Diperlukan Stamina Spritual Yang Tidak Mudah tenat. Istilah tersebut merujuk pada salah satu gambaran tentang idealisme-idealisme seorang muslim yang bersifat musiman. Dalam artian bahwa sering kali kita terjebak dalam satu cita-cita moral tentang kebenaran, keadilan, kesetaraan dan cita-cita luhur lainnya yang hanya bersifat musiman.

Dalam contoh konkret misalnya sebelum memiliki kedudukan penting, idealismenya berapi-api, percakapannya sehari-hari adalah perjuangan untuk membela keadilan, menegakkan kebenaran memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Namun bila keinginannya untuk mendapatkan posisi yang menguntungkan secara duniawi, semua cita-cita besar yang menjadi percakapannya sehari-hari hilang seketika dan tampil sebagai manusia yang lain sama sekali. Idealisme telah terjatuh sedemikian rupa.

Mental-mental musiman semacam ini tidak hanya terjadi dalam konteks pembicaraan di atas sebagaimana disampaikan oleh almarhum Buya Syafi’i, tetapi hal tersebut juga menimpa seorang muslim dalam mencerminkan praktek pengamalan keberagamaannya (religiusitas) dalam kehidupannya sehari-hari terutama ketika bulan ramadan tiba.

Sudah menjadi rahasia umum di kalangan ummat Islam bahwa ketika ramadan tiba berbagai praktek-praktek keagamaan mengalami peningkatan yang cukup besar, baik dalam skala individu maupun skala kolektif. Hal tersebut bisa kita saksikan mulai dari banyaknya orang meramaikan masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah, bacaan al-Qur’an yang rutin setiap hari kita lantunkan, lisan yang terjaga dari perkataan-perkataan yang bisa melukai saudara semuslim kita.

Di samping itu, kepedulian sosial kita terhadap sesama juga meningkat drastis. Banyak di antara kita tiba-tiba menjadi dermawan, dengan cara berinfak, bersedekah dan sebagainya. Bahkan tak jarang kita temui orang-orang kaya ramai berdatangan ke panti asuhan untuk berbagi kasih dan kebahagian sama anak-anak yatim piatu.

Namun, sering kali iklim keberagamaan positif seperti itu terkadang hanya terlihat di bulan ramadan saja. atau dalam kata lain sebahagian dari kita hanya menampakkan kesalehan dan religiusitas selama ramadan, tetapi setelah bulan ramadan pergi kesalehan dan religiusitas tersebut kembali memudar. Seakan-akan kita hanya menjadikan ramadan sebagai ritual formal dari tahun ke tahun tanpa mengambil efek positif bagi pengembangan kepribadian dan mental-mental muslim bertakwa sejati yang tak kenal musim.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kemudahan seseorang dalam menjalankan berbagai aktivitas keagamaan selama ramadan itu disebabkan karena berbagai faktor dan salah satunya adalah faktor teologis. Dalam hal ini, ummat Islam menyakini bahwa bulan ramadan merupakan bulan yang mulia dan memiliki banyak keistimewaan di dalamnya. Mulai dari janji Allah tentang pengampunan dan penghapusan dosa dibulan ramadan, pahala amalan seseorang dilipat gandakan oleh Allah, pintu surga dibuka dan setan-setan dibelenggu hingga turunnya malam lailul qadar yang dalam riwayat dijelaskan lebih baik dari pada seribu bulan.

Keutamaan-keutamaan inilah yang membuat banyak orang merasa bahwa ramadan menjadi kesempatan emas untuk meningkatkan aspek spritualitasnya kepada Allah swt dengan cara menjalankan segala bentuk perintah Allah baik yang wajib maupun yang sunnah. Tentunya hal tersebut tidaklah salah, justru itu merupakan hal positif, namun karena keyakinan ini sering kali lebih menekankan momemtum dari pada kesadaran spritual yang mendalam, religiusitas yang muncul cenderung bersifat musiman dan temporal. Sehingga setelah ramadan berlalu kebiasaan-kebiasaan baik yang kita lakoni juga memudar seiring kepergiannya ramadan.

Memahami Hakikat Ibadah
Seorang muslim sejati tentunya menginginkan iman yang istiqamah, bukan iman yang sifatnya musiman dan temporal. hanya meningkat dalam situasi dan waktu tertentu tetapi kembali melempeng di waktu-waktu lain. Iman yang istiqomah adalah iman yang mampu memahami makna ibadah tidak hanya sekedar sebagai kewajiban dan serangkaian ritual formal saja seperti puasa, sholat, sedekah dan ibadah lainnya tetapi lebih dari itu, ibadah adalah kebutuhan ruh dan wasilah kita sebagai manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah swt (taqarrub ilallah).
Di samping itu, ibadah yang baik adalah ibadah yang menekankan konsistensi dari pada kualitas. Hal tersebut juga sejalan dengan hadis nabi yaitu; amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun itu sedikit (HR. Bukhari Muslim).

Pemahamanan yang benar tentang hakikat ibadah menjadi langkah awal untuk tetap mempertahankan kebiasaan baik ramadan dibulan-bulan mendatang. Di samping itu perlu melakukan refleksi diri secara berkala dengan mengingat kembali tujuan dan mamfaat dari ibadah sehingga dapat menjadi motivasi untuk terus melakukannya.
Pada akhirnya penulis menyakini bahwa momentum ramadan menjadi pendorong meningkatnya religiusitas seseorang, tetapi tantangan terbesar adalah bagaimana menjaga semangat tersebut sepanjang tahun. religiusitas yang ideal bukan hanya yang bersifat musiman dan temporal, tetapi terus berkembang sebagai bagian dari perjalanan spritual seorang muslim. Wallahu A’lam Bissawab. (*)

News Feed