English English Indonesian Indonesian
oleh

Memaknai Kembali Tujuan Berpuasa Kita

Oleh; Muh Taufan, M.Ag

Peneliti Linus College; Center for Culture and Religious Studies dan Pengajar di Pondok Pesantren Hasyim Asyari Tapalang

Ritual puasa memiliki kontinuitas sejarah yang ada jauh pada abad sebelumnya, ritual puasa sama tuanya dengan usia keberadaan manusia itu sendiri. Dalam simbol agama-agama monoteistik, ritual ini dimulai oleh nabi Adam (mengendalikan hawa nafsu) untuk tidak mendekati pohon khuldi, bahkan Nabi-nabi terkemuka lainnya juga memperkenalkan ritual ini kepada kaumnya. jejak pelaksanaan puasa itu dapat ditemukan pada agama-agama terdahulu, seperti Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, bahkan Jaina agama kuno di India. Sifat puasa sebagai ritual yang abadi, universal dan berkelanjutan dalam agama-agama terdahulu sampai agama islam saat ini, mengundang rasa ingin tahu kita, apakah sesungguhnya maksud utama manifestasi pesan Tuhan kepada umat manusia yang terkandung dalam ritual puasa.

Puasa atau dalam bahasa arab shaum, secara harfiah dapat diartikan menahan diri. Dalam ilmu fiqh puasa didedifinisikan; perilaku menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya (pemenuhan dorongan biologis seperti; makan, minum dan hubungan seksual). Allah menciptakan dorongan syahwat atau nafsu pada diri manusia untuk mencintai wanita, anak-anak, harta benda emas dan perak, unta dan sawah ladang sebagai kesenangan dunia (Q.S.3:14).

Dorongan syahwat inilah yang mendasari seluruh bentuk perilaku manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Nabi pernah bersabda, Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu sendiri yang ada di dalam dirimu. Dan, Al-Quran memperkuat dengan menyatakan, Sesungguhnya nafsu itu cenderung pada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Tuhan.

Anomali Konsumerisme pada Bulan Ramadan

Ramadan sebagai bulan yang dinanti-nantikan kedatangannya menjadikan komsumsi masyarakat meningkat secara ekstrim. Semua mempersiapkan pakaian yang bagus dan makan-makanan terbaik saat sahur maupun buka puasa. Alih-alih menahan diri, justru menjadi momen meningkatnya konsumsi masyarakat. Puasa yang semestinya melatih kesederhanaan justru berujung pada perilaku pemborosan. Fenomena ini juga didorong oleh aktifitas bermedia sosial yang melanggengkan aktifitas berbuka puasa ugal-ugalan membuat semua menginginkan yang sama dengan makanan atau pakaian yang mereka saksikan melalui media sosial tersebut. Inilah yang disebut Jean Baudrillard (1929) media massa menciptakan konsumerisme dalam masyarakat kontemporer. Ia percaya bahwa orang-orang telah kehilangan kontak dengan realitas dan terhipnotis realitas palsu (simulacra)
Jika dilakukan investigasi lebih jauh, permasalahan sosial dan lingkungan saat ini pada hakikatnya dipicu oleh keserakahan manusia modern untuk mengonsumi barang.

Apa yang disebut kebutuhan sering kali bukanlah “kebutuhan” dalam pengertian (need). Sebagian dari itu hanyalah keinginan dan hasrat akan barang (a desire for things). Apa yang disebut konsumsi dalam masyarakat modern seringkali mengarah pada kesenangan dan kenikmatan sementara. Manusia seharusnya mengambil jarak agar jiwanya tidak dikuasai oleh hasrat akan dunia (zuhud). Hasrat ini, jika tidak terkendali dapat menjebak seseorang dalam konsumsi barang atau makanan secara eksesif sehingga menimbulkan kerusakan, baik secara personal pada orang bersangkutan, secara sosial, maupun lingkungan.

Mengendalikan Syahwat; Sebuah Strategi Kebudayaan

Bulan Ramadan seharusnya mengajarkan umat islam pada dua hal, kesalehan individual dan kesalehan sosial. Harus ada pendidikan dan pelatihan untuk ego (tinjauan psikoanalisis), puasa merupakan simbol tentang pentingnya pengekangan syahwat (id) demi penguatan dan pendewasaan terhadap ego. Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa adalah untuk mencapai derajat taqwa. Maka, taqwa di sini harus diberi pengertian kemampuan ego dalam menunda dan mengendalikan keinginan-keinginan syahwat yang tidak dapat dimusnahkan tersebut pada arah pemenuhan yang sesuai dengan ketentuan moralitas agama dan budaya. Syahwat yang mencapai titik kepuasan melalui proses taqwa inilah yang kita sebut dengan nafsu yang dirahmati oleh Tuhan (an-nafs lawwamah).

KH Ulil Abshar Abdalah dalam tulisannya di alif.id menyebutkan, kenaikan derajat spiritual seseorang dapat tercapai jika hasrat duniawi ini secara pelan-pelan bisa ditaklukkan. Untuk menundukkan syahwat tidak bisa dilakukan dengan “sekali pukul” seperti seseorang tak akan bisa menjadi pemain bola yang ulung jika tak melalui latihan panjang yang menderita, bagi kalangan sufi disebut dengan istilah “riyaḍah”. Seorang yang hendak menjalani laku spiritual; harus mampu menempuh waktu dan jalan panjang untuk mencapai derajat rohaniah yang bersih. Di balik penolakan terhadap kenikmatan duniawi terdapat pesan tentang pengendalian diri dan pencarian makna yang lebih tinggi, yaitu sebuah upaya untuk memahami kehidupan secara menyeluruh.

Pada kesimpulannya, Tuhan menetapkan puasa sebagai pesan simbolik bahwa kehancuran peradaban atau masyarakat bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri. Potensi ini tidak dapat dimusnahkan, ia selalu muncul setiap waktu. Karena itu, perilaku manusia selalu mendasarkan diri ujian dan ketakwaan dari Tuhan. Melalui ritual puasa manusia mendapatkan pelajaran bahwa untuk membangun kembali masyarakat dan peradaban harus dimulai dari pengekangan secara kolektif atas dorongan syahwat. Maka, bulan Ramadan bisa menjadi sebuah titik tolak dan strategi dalam merestorasi kembali budaya masyarakat yang sedang mengalami krisis berkepanjangan. (*)

News Feed