English English Indonesian Indonesian
oleh

Sepak Bola dan Idulfitri

SPEKTRUM: SAHARUDDIN DAMING

Di tengah gema takbir yang mulai berkumandang, menandakan berakhirnya perjalanan spiritual umat Islam dalam bulan suci Ramadan, perhatian masyarakat Indonesia sejenak terpecah oleh laga penuh gengsi yang menentukan nasib tim nasional di pentas kualifikasi Piala Dunia 2026. Pada 26 Maret 2025, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Indonesia menjamu Bahrain dalam pertarungan hidup-mati, sebuah pertandingan yang bukan hanya menguji keterampilan teknis di atas lapangan hijau, tetapi juga menguji keteguhan mental dan sportivitas dalam atmosfer kompetisi internasional.

Sebagaimana cahaya fajar Idulfitri menandai berakhirnya fase panjang pengendalian diri dan introspeksi, pertandingan ini pun menjadi semacam titik balik yang berpotensi menghapus kekecewaan mendalam akibat kekalahan telak 1-5 dari Australia pada 20 Maret lalu. Lebih dari sekadar pertandingan, laga ini adalah kesempatan bagi tim Garuda untuk membuktikan diri, tidak hanya dalam aspek taktik dan strategi, tetapi juga dalam memulihkan kepercayaan publik atas Timnas yang diracik oleh pelatih baru: Patrick Kluivert menggantikan Shin Tae Yong. Trauma atas kepemimpinan wasit Ahmed Al Kaf dalam laga sebelumnya di Stadion Nasional Bahrain masih membekas dalam ingatan kolektif, namun semangat kesatria menuntut agar setiap laga dihadapi dengan jiwa besar dan sikap sportif.

Sebagaimana telah diprediksi oleh berbagai pengamat sepak bola, laga ini menjadi momentum emas bagi Indonesia untuk mengamankan tiga poin penuh. Ketika Romeny di menit ke 25 dengan kepiawaiannya berhasil mengoyak jaring Bahrain yang dikawal oleh Ebrahim Lutfalla, stadion pun bergemuruh, menggetarkan hati ratusan juta pendukung yang menyaksikan baik langsung di GBK maupun melalui layar kaca. Gol semata wayang tersebut membuka asa bagi Indonesia untuk meraih tiket ke piala dunia tahun 2026. Kemenangan ini bukan sekadar angka di papan skor, tetapi menjadi semacam hadiah Idulfitri bagi para pecinta sepak bola nasional—sebuah pelepas dahaga panjang setelah rentetan hasil kurang memuaskan sebelumnya.

Namun, di balik sorak sorai kemenangan, tersimpan nilai-nilai fundamental yang menyatukan olahraga dan spiritualitas. Sebagaimana puasa Ramadhan yang mengajarkan disiplin, kesabaran, dan kejujuran, pertandingan sepak bola pun menjunjung tinggi prinsip-prinsip fair play. Dalam keduanya, terdapat larangan-larangan yang menguji integritas: dalam puasa, larangan untuk makan, minum, dan menahan hawa nafsu; sedangkan dalam sepak bola, larangan melakukan pelanggaran, kecurangan, dan sikap tidak sportif. Kemenangan sejati bukan hanya soal menaklukkan lawan di atas lapangan, melainkan juga tentang menjaga kehormatan dan nilai-nilai luhur dalam setiap langkah.

Layaknya seorang pemain yang melakukan selebrasi usai mencetak gol spektakuler, kaum mukmin yang telah melalui ujian Ramadhan juga merayakan kemenangan mereka pada hari raya Idul Fitri. Bukan kemenangan atas lawan, melainkan kemenangan atas diri sendiri—sebuah puncak dari perjalanan panjang mengasah ketakwaan dan mengendalikan hawa nafsu. Idul Fitri bukan sekadar perayaan, tetapi momentum untuk merevitalisasi diri, mengorganisasi kembali niat, dan memperbarui tekad agar menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti halnya tim yang belajar dari kekalahan dan bangkit dengan semangat baru, Idulfitri mengajarkan bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk memulai kembali dengan lembaran yang lebih bersih dan hati yang lebih jernih.

Sepak bola dan Idulfitri, meskipun berasal dari ranah yang berbeda, sesungguhnya memiliki makna yang selaras. Keduanya mengajarkan bahwa kemenangan bukan hanya soal trofi atau gelar, tetapi juga tentang bagaimana meraihnya dengan cara yang terhormat dan bermartabat. Sebab dalam kehidupan, sebagaimana dalam sepak bola, hanya mereka yang berjuang dengan penuh kejujuran, ketekunan, dan keikhlasanlah yang pantas merasakan kebahagiaan sejati dari sebuah kemenangan. (*)

News Feed