Ia sempat dua kali mengalami serangan panik setelah pulang, terutama saat mendengar suara keras atau saat listrik padam. “Langsung teringat waktu di sana. Gelap, sendiri, dikurun,” ujarnya
Kini Ramlah mencoba membangun kembali hidupnya. Ia membuka warung kecil di depan rumah. Meski penghasilannya jauh dari cukup, ia merasa lebih tenang bisa dekat dengan anak-anaknya.Di sisi lain, pemerintah Sulsel mulai menjalin kerja sama dengan BP2MI dan organisasi internasional untuk meningkatkan pelatihan kerja dan jalur migrasi yang aman.
Namun, upaya ini belum banyak menyentuh desa-desa terpencil seperti tempat Ramlah tinggal.“Kami butuh lebih dari sosialisasi satu kali setahun. Kami butuh pendampingan yang terus-menerus,” ujar Hayati.
Ia kini rutin mengadakan pertemuan komunitas bersama ibu-ibu yang ingin bekerja ke luar negeri.Ramlah kerap diundang untuk berbagi kisahnya dalam forum-forum itu. Ia tidak ingin orang lain mengulang kesalahan yang sama.
“Kalau bisa kerja lewat jalur resmi, ikut pelatihan, pastikan dokumen lengkap. Jangan buru-buru percaya janji manis calo,” katanya.
Meski masa lalu menyisakan trauma, Ramlah tidak menyesali keputusannya. Ia percaya setiap orang punya cara masing-masing untuk bertahan hidup. Yang ia sesali hanya satu: kehilangan banyak momen tumbuh kembang anak-anaknya.
“Anak saya dulu takut dekat saya. Katanya saya orang asing,” katanya pelan. Kini, ia berusaha menebus waktu yang hilang. Menyiapkan sarapan, mengantar anak ke sekolah, dan bercerita setiap malam sebelum tidur.