English English Indonesian Indonesian
oleh

Mencari Hidup di Negeri Orang: Kisah Ramlah, Pekerja Migran dari Jeneponto

“Tiga bulan pertama tidak digaji. Katanya potong biaya agen. Setelah itu pun sering terlambat. Kadang marah sedikit, saya dikurung. Tapi saya tahan. Demi anak-anak,” ucapnya sambil menggenggam erat foto keluarganya yang sudah lusuh.

Ramlah tidak sendiri. Banyak perempuan di kampungnya juga mengikuti jejak yang sama. Beberapa berhasil, namun tak sedikit yang kembali dengan luka fisik dan mental. Ada pula yang tak pernah kembali sama sekali.Di Jeneponto dan sekitarnya, pekerja migran seperti Ramlah bukan fenomena baru.

Kemiskinan struktural dan minimnya peluang kerja mendorong banyak orang mengambil risiko besar bekerja di luar negeri, meski tanpa perlindungan hukum.Lembaga Sosial Mitra Migran Sulsel mencatat bahwa dalam lima tahun terakhir, ada lebih dari 800 pekerja migran non-prosedural dari wilayah ini.

Jumlah sebenarnya bisa lebih besar, karena banyak yang tidak tercatat secara resmi.“Banyak dari mereka berangkat karena dorongan keluarga. Ada beban jadi tulang punggung, apalagi kalau suami tidak bekerja tetap,” kata Nur Hayati, mantan TKI yang kini menjadi pendamping komunitas migran.

Ia sendiri pernah mengalami eksploitasi serupa di Malaysia.Menurut Hayati, masalah utama bukan hanya kemiskinan, tapi juga kurangnya edukasi dan sosialisasi soal migrasi aman. “Pemerintah daerah seharusnya hadir di sini. Jangan tunggu korban jatuh dulu baru bertindak,” katanya.

Ketika Ramlah akhirnya memutuskan pulang, ia tak membawa harta berlimpah seperti anggapan banyak orang. Uangnya habis untuk biaya hidup di sana, mengirim ke rumah, dan sebagian lagi tertahan di tangan majikannya.“Yang saya bawa cuma luka dan rindu,” ujarnya.

News Feed