English English Indonesian Indonesian
oleh

Travel Gelap Merajalela: Kebutuhan dan Masyarakat Tak Dapat Akses Transportasi Umum hingga ke Pelosok

FAJAR, JAKARTA – Maraknya praktik travel gelap di Indonesia bukanlah inovasi, melainkan bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan angkutan umum yang layak bagi masyarakat di pelosok negeri. Keberadaannya menjadi solusi alternatif bagi warga yang kesulitan mendapatkan transportasi resmi, meskipun berisiko tinggi.

Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat melihat travel gelap ini masih terus bermunculan karena adanya kebutuhan dari masyarakat yang tak mendapatkan akses transportasi umum hingga ke pelosok.

“Travel gelap ini muncul karena kebutuhan, bukan sekadar inovasi. Jika layanan angkutan umum tersedia dengan baik hingga ke pelosok, maka masyarakat tentu akan memilih moda transportasi yang lebih aman dan legal,” kata Djoko.

Maraknya travel gelap semakin terlihat saat momentum mudik Lebaran 2024, di mana sebuah minibus yang diduga travel gelap mengalami kecelakaan maut di Tol Cikampek Km 58, menewaskan 12 penumpang.

Kejadian ini menjadi bukti bahwa meskipun banyak yang mengandalkan travel gelap, aspek keselamatan mereka belum terjamin.

Kondisi ini diperparah dengan hilangnya angkutan pedesaan, membuat warga di daerah harus mencari alternatif transportasi lain untuk menuju ke kota-kota besar, termasuk Jabodetabek.

Tarif ojek pangkalan yang tinggi membuat travel gelap menjadi pilihan karena lebih murah dan memiliki layanan door to door yang dianggap lebih praktis.

“Dulu ada angkutan pedesaan yang menghubungkan desa dengan Terminal Tipe A. Tapi sekarang sudah punah. Mau tidak mau, masyarakat mencari solusi sendiri, salah satunya dengan travel gelap,” ujar Djoko.

Berdasarkan investigasi, penumpang travel gelap berasal dari berbagai daerah, seperti Brebes, Banyumas, Grobogan, Tegal, Wonosobo, Pekalongan, Pemalang, Banjarnegara di Jawa Tengah, serta Banjar, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cirebon, Kuningan, Majalaya, Sumedang, dan Subang di Jawa Barat. Perjalanan biasanya dimulai antara pukul 16.00 – 19.00, dengan sistem pembayaran yang fleksibel—bisa di awal atau setelah sampai tujuan. Bahkan, ada promo khusus bagi rombongan 6-7 penumpang yang mendapat 1 tiket gratis.

Travel gelap ini beroperasi dengan sistem titik share location, di mana penumpang dijemput sesuai lokasi yang mereka bagikan kepada agen. Selama perjalanan, kendaraan juga selalu melakukan transit di titik istirahat antara pukul 20.00 – 00.00 dengan durasi sekitar 45 menit – 1 jam.

Keberadaan travel gelap juga diduga mendapat perlindungan dari oknum aparat penegak hukum. Sejumlah kendaraan menggunakan stiker khusus sebagai tanda pengenal, yang berfungsi untuk menghindari razia. Namun, saat ini beberapa kendaraan tak lagi menggunakan stiker, tetapi tetap mudah dikenali, terutama yang menggunakan mobil Elf atau Grandmax.

“Ada pemilik travel yang mendapatkan stiker dari oknum aparat dengan cara membeli. Stiker ini menjamin mereka tidak akan ditilang atau kalaupun kena razia, bisa segera diselesaikan,” ungkap Djoko.

Maraknya travel gelap ini memicu keresahan di kalangan pengusaha angkutan resmi, seperti Bus AKAP, Bus AKDP, dan AJAP. Mereka diwajibkan mengikuti berbagai regulasi, seperti perizinan, uji KIR setiap enam bulan, membayar pajak tahunan, dan asuransi.

Sementara itu, travel gelap dapat beroperasi bebas tanpa aturan, membuat persaingan menjadi tidak sehat.

“Angkutan resmi harus tunduk pada regulasi ketat, sedangkan travel gelap bebas beroperasi tanpa izin. Jika dibiarkan, angkutan resmi bisa semakin terpuruk,” ujar salah satu pengusaha bus AKAP.

Djoko menegaskan bahwa pemerintah harus segera membenahi sistem angkutan umum di daerah. Salah satu contoh yang bisa diadopsi adalah model TransJakarta, yang saat ini telah mencakup 89,5% wilayah ibu kota dan memudahkan akses transportasi masyarakat.

“TransJakarta sudah 20 tahun dikembangkan dan kini hampir seluruh Jakarta terlayani angkutan umum. Kenapa ini tidak bisa dilakukan di daerah?” tegasnya.

Salah satu solusi yang sudah diterapkan adalah memberikan kelonggaran bagi Bus AKAP untuk mencapai pedesaan, seperti yang dilakukan di Kabupaten Wonogiri.

Bus AKAP di sana tidak hanya berhenti di Terminal Giri Adipura, tetapi juga melanjutkan perjalanan hingga ke 25 ibu kota kecamatan, sehingga travel gelap tidak laku di daerah ini.

Sebagai langkah jangka panjang, Djoko mengusulkan agar ada mandatory pembiayaan angkutan umum dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

“Jika ingin Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045, maka sistem transportasi harus diperbaiki. Negara-negara maju pasti memiliki layanan angkutan umum yang baik,” tutup Djoko. (an)

News Feed