Sentimen negatif terhadap perekonomian nasional dipicu oleh tingginya country risk Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tingginya political risk yang berkaitan dengan banyaknya kasus-kasus korupsi kakap yang menjadi polemik berkepanjangan dan menimbulkan distrust terhadap pemerintah.
Faktor resiko ketiga yang membuat country risk rating Indonesia berpotensi memburuk adalah business environment risk yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan isu kebijakan efisiensi anggaran yang diperuntukan untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyebabkan peningakatan defisit fiskal.
Resiko lingkungan bisnis lain yang mempengaruhi resiko berinvestasi di Indonesia adalah penerimaan pajak yang tidak mencapai taget sesuai dengan undang undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini melahirkan ekspektasi pelaku pasar bahwa pemerintah akan menambah utang baru untuk menutup defisit fiskal. Beban utang yang semakin tinggi melahirkan sentimen negatif dari pelaku pasar.
Lalu apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi persepsi resiko berinvestasi di Indoensia? Tetap fokus pada policy mix, yaitu bauran kebijakan moneter dan fiskal. Dimana, dalam jangka pendek, kementrian keuangan (Kemenkeu) perlu mempertimbangkan insentif pajak dan non pajak untuk mendorong sektor manufaktur. Hal ini diharapkan membuka kembali lapangan kerja baru bagi pekerja profesional sebagai basis kelas menengah.
Selain itu, BI diharapkan menjaga keseimbangan antara mendorong konsumsi melalui instrumen suku bunga dengan meminimalisir resiko nilai tukar. Saat ini, suku bunga BI sebagai suku bunga kebijakan moneter masih sekitar 5,75 persen pada Januari 2025.