SuarA : Nurul Ilmi Idrus
Playing victim merupakan perilaku seseorang yang selalu merasa dirinya sebagai korban dan menyalahkan orang lain atas masalah yang terjadi untuk mendapatkan perhatian atau keuntungan secara emosional dari orang lain. Orang yang playing victim berfokus pada memainkan peran sebagai pihak yang tertindas atau terkorbankan dan orang lain sebagai pelaku yang membuatnya menjadi tertindas atau terkorbankan. Dalam memainkan perannya, seorang yang playing victim seakan ialah yang paling menjadi korban dan paling menderita karenanya, termasuk dalam kasus-kasus korupsi.
Sebagai contoh, dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan negara tidak saja berupa uang (sebesar 271 triliun), tapi juga merusak lingkungan, yang mendudukkan Harvey Moeis sebagai salah satu tersangka. Barang-barang yang disita berupa beberapa tanah/bangunan (di Jakarta Selatan dan di Tangerang), sejumlah mobil mewah (seperti Ferrari, Marcedes Benz, Porche, Roll Royce, Mini Cooper, Lexus, dan Fellfire), uang dalam bentuk dollar dan rupiah, emas batangan, ratusan jenis perhiasan, dan puluhan tas mewah branded (seperti Hermes, Chanel, dan Louis Vuitton) yang berharga hingga ratusan juta rupiah.
Namun, dalam berbagai kesempatan, baik Harvey maupun istrinya (Sandra Dewi), seakan sebagai “korban” dari kasus korupsi ini, apalagi Sandra adalah juga seorang artis terkenal di Indonesia. Sandra lama tak terdengar di dunia keartisan, ternyata is sedang “menikmati” hidup bergelimang harta. Ketika kasus ini merebak, baik Harvey, maupun Sandra menarasikan diri masing-masing sebagai “korban.” Harvey menitipkan pesan kepada anaknya secara terbuka: “Papa bukan koruptor.” Sandra masih sempat tersenyum ketika ia menghadiri persidangan sebagai saksi, bukannya meminta maaf atas korupsi suaminya yang turut dinikmatinya, malah ia sambil meminta dido’akan (yang mungkin hanya didapati di Indonesia). Koruptor maupun istrinya tidak memiliki kepekaan terhadap bangsa Indonesia.
Kasus korupsi di Pertamina adalah contoh lain dimana kita dapat melihat bagaimana pelaku dan istrinya memainkan peran playing victim. Pada curhatan seorang istri koruptor dalam kasus Pertamina ini, sang istri di antaranya mengatakan bahwa suaminya telah all out melawan korupsi tapi tidak berdaya karena ada banyak orang yang terlibat, sehingga ia menjadi “korban” dalam lingkaran tersebut. Padahal, ini ibarat mengatakan bahwa lebih baik kecebur sekalian, daripada jadi terasing di tengah orang-orang yang tak asing baginya. Sang istri juga menarasikan untuk menjual asset demi melunasi KPR-nya (seakan keluarga mereka adalah keluarga sederhana, sehingga rumahpun masih kredit). Dalam curhatan tersebut ia sama sekali tidak memiliki keprihatinan terhadap penderitaan banyak orang Indonesia yang kendaraannya rusak parah akibat bahan bakar oplosan tersebut .
Dalam berbagai kasus korupsi juga ditemui bagaimana istri berupaya untuk meyakinkan publik, bahwa orang yang tidak korupsi bisa dijadikan sebagai tersangka korupsi karena politik. Istri berusaha membangun narasi bahwa suaminya adalah “korban politik” dan memperingati orang-orang agar berhati-hati berpolitik agar tidak menjadi “korban” seperti suaminya. Di media-media sosial ia aktif memosting, kebahagiaan semunya, “memelihari orang” untuk mendukung narasi yang dibangunnya, sehingga ia betul-betul kelihatan sebagai “korban.” Padahal jika suaminya memang tidak korupsi, sulit untuk membuktikannya, apalagi meyakinkan bahwa ia tidak korupsi.
Playing victim memang upaya klasik yang dilakukan oleh koruptor atau keluarganya demi mendapatkan keuntungan secara emosional, dan orang semacam ini banyak pendukungnya sepanjang mereka mendapatkan keuntungan juga dari yang bersangkutan. Jadi ada semacam mutualime simbolik antar aktor, yakni aktor pelaku dan aktor penikmat.