English English Indonesian Indonesian
oleh

Gaduh Revisi UU TNI

Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai kontroversi karena dianggap tidak transparan dan melanggar prosedur legislasi. Revisi ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 maupun RPJMN 2025-2029, sehingga urgensinya patut dipertanyakan. DPR dan pemerintah dinilai terburu-buru dalam membahas revisi ini tanpa adanya pembahasan terbuka dan melibatkan masyarakat.

Proses pembahasan yang dilakukan di luar Gedung DPR, menguatkan dugaan publik, ada  sesuatu di balik revisi yang terburu-buru ini. Draf revisi pun yang tidak dipublikasikan melalui kanal resmi DPR, bertentangan dengan prinsip transparansi dalam pembuatan undang-undang. Kejanggalan lainnya adalah keterlibatan eksekutif Kementerian Pertahanan, yang mengajukan revisi ini ke DPR, padahal dalam Prolegnas jangka menengah 2025-2029, revisi ini merupakan usulan inisiatif DPR, bukan pemerintah.

Surat Presiden Nomor R12/Pres/02/2025, yang menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan revisi UU TNI, juga dikeluarkan sebelum ada keputusan resmi DPR untuk memasukkan revisi ini dalam Prolegnas. Hal ini menunjukkan adanya indikasi campur tangan eksekutif dalam proses legislasi, yang dapat mengancam independensi DPR. Selain itu, pengambilan keputusan di Rapat Paripurna pada 18 Februari 2025 dilakukan secara tiba-tiba tanpa melalui prosedur yang sah, dan ditengarai melanggar Pasal 290 ayat (2) Tata Tertib DPR RI.

Respons negatif dari pimpinan parlemen atas kritik ini, yang meminta aparat menindak tegas pengunjuk rasa yang mempertanyakan transparansi revisi UU TNI, bertolak belakang dengan prinsip demokrasi, yang seharusnya membuka ruang dialog bagi publik. Jika ada kritik terhadap revisi ini, DPR seharusnya menjawab dengan argumentasi yang kuat, bukan dengan ancaman tindakan hukum yang dapat membungkam kebebasan berpendapat.

Agar revisi UU TNI memiliki legitimasi yang kuat, DPR harus mempublikasikan draf revisi dan naskah akademiknya, serta melakukan pembahasan secara terbuka di Gedung DPR. Selain itu, revisi ini harus dimasukkan kembali dalam Prolegnas 2025 melalui mekanisme yang sah, bukan melalui keputusan mendadak di rapat paripurna. Partisipasi publik, akademisi, dan masyarakat sipil harus diperkuat untuk memastikan bahwa revisi ini benar-benar membawa manfaat bagi sektor keamanan nasional.

Pembahasan revisi UU TNI juga harus dipisahkan dari kepentingan politik pemerintah. Eksekutif boleh memberikan masukan, tetapi tidak boleh mendikte proses legislasi yang seharusnya menjadi wewenang DPR. Selain itu, DPR harus menghormati demokrasi dengan menerima kritik secara terbuka, bukan justru meresponsnya dengan upaya kriminalisasi terhadap kelompok masyarakat yang menuntut transparansi.

Jika DPR dan pemerintah tetap memaksakan revisi ini tanpa prosedur yang sah, maka legitimasi demokrasi di Indonesia akan semakin dipertanyakan. Langkah terbaik adalah menunda pembahasan revisi UU TNI, memperbaiki prosedur legislasi, dan memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar untuk kepentingan nasional, bukan sekadar kepentingan politik jangka pendek. Demokrasi bukan hanya soal membuat undang-undang, tetapi juga tentang bagaimana undang-undang itu dibuat. (^^)

News Feed