Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf (Dosen FEB Unhas)
HARIAN.FAJAR.CO.ID, MAKASSAR – Krisis nilai tukar telah terjadi dalam tiga generasi. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh penerima hadiah nobel ekonomi tahun 2008, Paul Krugman dari Princeton University, Amerika Serikat (AS) dengan membagi krisis nilai tukar berdasarkan faktor penyebabnya.
Krisis nilai tukar generasi pertama pada tahun 1980 berpusat di Amerika Latin, yaitu Chili, Brasil, Meksiko, dan Argentina. Negara-negara tersebut menganut regim nilai tukar tetap terhadap dollar AS. Secara kolektif disebut crawling peg.
Secara teknis, pada awalnya, hot money mengalir ke negara Amerika Latin. Namun, aliran modal jangka pendek (hot money) tersebut berbalik arah karena dipicu oleh peningkatan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) pada era Paul Volcker, ketua The Fed, sebagai respon terhadap inflasi extra tinggi AS pada tahun 1979.
Peningkatan suku bunga dollar AS menyebabkan negara-negara Amerika Latin tidak mampu membayar utang yang menggelembung dari 125 menjadi 800 milyar dollar AS pada akhir 1979. Dimana, kombinasi antara kenaikan suku dan penurunan harga komoditas menyebabkan negara Amerika Latin mengalami gagal bayar utang.
Selanjutnya, pada tahun 1994, krisis nilai tukar generasi kedua kembali terjadi yang berpusat di Meksiko. Dimana mata uang peso Meksiko mengalami penurunan tajam mencapai 50 persen terhadap dollar AS.
Pada awalnya, terjadi aliran modal sangat besar ke Meksiko setelah Meksiko bergabung dengan North Atlantic Free Trade Area (NAFTA). Sejak saat itu, Meksiko melakukan privatisasi badan usaha milik negara yang membuat biaya produksinya sangat efisien sehingga menarik bagi para investor.