Ketiga, DPRD Provinsi merekomendasikan kepada OPD terkait melalui Gubernur Sulbar untuk mengevaluasi dokumen terbitnya perizinan tambang oleh PT Alam Sumber Rezeki dan PT. Yakusa Tolelo Nusantara untuk ditindaklanjuti sesuai aturan yang berlaku. Terakhir, DPRD Provinsi akan melakukan kunjungan kerja ke lokasi tambang yang dimaksud.
“Aparat kepolisian, dalam hal ini Polda Sulbar, masuk dan ikut terlibat dalam skema pembungkaman protes warga dengan memanggil ketiga 3 tersebut, padahal apa yang dilakukan oleh warga tidak lain adalah upaya untuk mempertahankan ruang hidupnya serta menjaga lingkungan hidup yang terancam hancur akibat aktivitas penambangan. Kalau proses hukum terhadap ketiga orang ini terus dilakukan oleh Polda Sulbar, maka ini hanya akan menambah catatan buruk penegakan hukum,” tambah Ansar.
Dalam surat undangan dari Polda Sulbar memuat dugaan dan tuduhan kepada warga bahwa telah melakukan pengancaman dan pengrusakan sebagaimana pasal 335 sub 406 KUHP.
Tindakan warga memblokade dan mengusir kapal tambang milik PT ASR bukan tanpa alasan. Muara yang merupakan wilayah pertambangan merupakan titik sumber pencaharian masyarakat yang di mana sekitar 90 persen warga merupakan pelaku profesi sebagai nelayan. Sebelumnya telah ada kesepakatan dari hasil rapat dengar pendapat DPRD provinsi yang pada intinya tidak boleh ada aktivitas perusahaan sampai adanya kesimpulan.
Aktivitas pertambangan dinilai merupakan ancaman bagi 5 Desa dari 2 Kabupaten. Masing-masing adalah Desa Budong-Budong, Desa Babana, Desa Karossa di Kab. Mamuju Tengah dan Desa Sarassa, Desa Dapurang di Kab. Pasangkayu.