Oleh: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
Dosen Teknik Sipil dan Pemerhati Sosial
Peringatan dini terkait potensi cuaca ekstrem yang berlaku mulai 12 hingga 14 Februari 2025, telah dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar. BMKG memprediksi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat disertai angin kencang akan melanda wilayah Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, masyarakat diminta untuk tetap waspada terhadap kemungkinan banjir dan tanah longsor. (fajar.co.id, 12/02/2025)
Suasana hiruk pikuk warga terdampak banjir di wilayah Makassar dan Maros pasca dibukanya dua buah pintu pelimpah (spillway) Bendungan Bili-Bili Gowa dan pintu penguras Bendung Lekopancing Maros tanggal 11 Februari. Beredar ramai di media sosial video plus foto-foto kondisi banjir di kedua wilayah tersebut. Aktivitas warga otomatis menjadi terganggu. Peningkatan mobilitas warga tak dapat dihindari. Terlihat antrean panjang kendaraan di beberapa titik kemacetan. Kerugian materi maupun nonmateri sudah tidak berbilang.
Banjir kali ini terbilang cukup parah. Sejak 10 Februari hingga hari ini, banjir masih menggenangi terutama empat kecamatan di Kota Makassar. Seperti dikutip dari laman https://abatanews.com/banjir-makassar-makin-parah-paksa-2-164-jiwa-mengungsi/ bahwa ketinggian air hingga dua meter terjadi di Blok 8 dan Blok 10 Perumnas Antang, Kecamatan Manggala. Di mana Kecamatan Manggala adalah salah satu kecamatan terparah (selain Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea, dan Tamalate) dengan jumlah pengungsi 1.101 jiwa dari 283 kepala keluarga, mengungsi di 13 titik.
Fenomena banjir berulang hampir didapati di seluruh wilayah Indonesia. Jika ditelisik penyebabnya, akan didapati bahwa paradigma pembangunan dalam sistem saat ini berbasis sekularisme liberalisme. Asas pembangunan yang bersumber pada penerapan sistem kapitalisme meniscayakan terjadinya kongkalikong antara penguasa dan pengusaha (para kapitalis). Berbagai regulasi dibuat seolah demi memuluskan kepentingan para kapitalis (pemilik modal). Sebut saja UU Minerba dan Omnibus Law Ciptaker.
Dampak dari kebijakan eror tersebut adalah berjalannya pembangunan secara eksploitatif. Salah satu akibatnya adalah kurangnya daerah resapan air. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena rusaknya fungsi ekologis dan hidrologis. Misal: alih fungsi lahan secara besar-besaran; persawahan menjadi permukiman, hutan atau perkebunan menjadi pertambangan, dll. Selain itu, marak pula betonisasi jalan yang tidak diikuti oleh sistem drainase yang baik. Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan banyak lagi hal lainnya berkelindan memicu bencana demi bencana.
Jikapun pihak terkait berdalih karena cuaca ekstrem, sepertinya penting untuk melihat akar masalahnya. Tak dimungkiri, perubahan iklim global yang melanda dunia hari ini diakibatkan oleh pembangunan eksploitatif secara masif di hampir semua bidang. Artinya, ada campur tangan manusia di sana. Sehingga terlihat jelas faktor alam tidak berdiri sendirian. Keserakahan para kapitalis dalam mengelola bumi ditengarai sebagai biang kerok kerusakan iklim global.
Padahal pembangunan sejatinya menciptakan kemudahan dan kenyamanan bagi makhluk hidup, terutama manusia. Namun, karena paradigma pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan, maka berakibat pada ketidakseimbangan ruang antar manusia dan air. Dampaknya jelas terlihat saat ini. Bencana alam dengan frekuensi yang cukup intens, terutama bencana banjir yang terus berulang. Pertanyaannya, adakah sistem alternatif yang mampu membangun dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan?
Paradigma pembangunan yang melahirkan kesejahteraan
Islam adalah sebuah sistem dengan seperangkat aturan paripurna dan komprehensif. Sebagai sebuah sistem yang berasal dari Zat Yang Maha Sempurna, memiliki kesempurnaan aturan di semua aspek kehidupan. Tervalidasi selama 13 abad mampu memberi kesejahteraan tanpa batas. Selain itu, keunikan sistem Islam adalah kolaborasi antara rakyat dan penguasa bersinergi dalam satu frekuensi, yakni berdasar atas ketakwaan kepada Ilahi Rabbi.
Negara dalam Islam berfungsi sebagai pelaksana hukum syarak. Di mana seluruh aktivitas didasarkan pada syariat Islam, termasuk di dalamnya pembangunan. Paradigma pembangunan semata-mata demi kemaslahatan rakyat, bukan segelintir orang. Ridho Allah Swt. adalah kunci dari semua aktivitas yang dijalankan, baik rakyat maupun penguasa.
Selanjutnya dalam Islam kepemilikan diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Di mana terkait hutan, tambang, sungai adalah contoh kepemilikan umum yang pengelolaannya diatur oleh negara secara independen dan mandiri. Tidak boleh dikelola oleh individu atau kelompok (privatisasi), terlebih oleh asing maupun aseng. Hal ini wajib dilaksanakan oleh negara, karena syariat mengaturnya demikian.
Adapun faktor alam, seperti cuaca ekstrem adalah hal lain di luar kuasa manusia. Namun, harus diyakini bahwa hujan yang turun ke bumi semestinya menjadi berkah bagi makhluk hidup. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Furqan: 48-49, yang artinya: “Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih, agar kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.”
Oleh karena itu, jika negeri ini ingin terbebas dari bencana alam ataupun bencana sosial lainnya, maka menerapkan sistem Islam secara total (kaffah) adalah solusi hakiki. Dengannya rakyat akan sejahtera dan keberkahan hidup pasti akan diraih, insyaAllah! (*)