Lebih dari setengah responden juga mengakui melakukan sensor mandiri (self-censorship) untuk menghindari konflik dan kontroversi yang berlebihan.
“Dari sisi negara dan regulasi, UU ITE dan KUHP masih dianggap sebagai ancaman utama bagi kebebasan pers. Melalui temuan ini, diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah, organisasi media, dan masyarakat sipil dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi para jurnalis di Indonesia,” ujar dia.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen, Bayu Wardhana, dalam diskusi terkait survei ini menyoroti bahwa meskipun angka kekerasan terhadap jurnalis menurun, kualitas kekerasannya justru meningkat. Ia menjelaskan, tahun 2024 ada jurnalis yang meninggal dunia, padahal tidak terjadi pada 2023 dan 2022.
“Jadi, meskipun indeks naik, kita tidak bisa hanya melihat angka tanpa memperhatikan kualitas kasus kekerasan yang terjadi,” ujarnya.
Bayu juga menambahkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, tetapi juga melalui berbagai bentuk intimidasi, baik dari pihak tertentu maupun tekanan ekonomi.
Menurut dia, banyak jurnalis yang akhirnya melakukan swasensor karena takut akan dampak yang lebih besar.
“Ada ancaman tidak langsung berupa pembatasan kerjasama media dengan pemerintah atau swasta jika mereka menerbitkan berita yang dianggap sensitif. Karena itu, perlindungan terhadap jurnalis harus menjadi prioritas bersama agar kebebasan pers tetap terjaga,” tegas dia.
Menanggapi temuan tersebut, Deputi II Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan, Noudhy Valdryno, menegaskan pentingnya peran negara dalam menjamin keselamatan jurnalis.