English English Indonesian Indonesian
oleh

Fenomena Viral Manusia Kembar Buaya

MAKASSAR, FAJAR — Jagat Sulsel heboh beberapa hari ini. Begitu banyak yang percaya manusia punya kembar (saudara) buaya.

KEHEBOHAN ini bermula pascabanjir di Antang, Makassar. Buaya muncul ke permukiman warga. Damkar lalu mengamankannya, lalu melalui izin Balai Konservasi Sumber Daya Air (BKSDA), sang buaya lalu dikirim ke Cimory Dairyland, Gowa.

Sepanjang proses penangkapan hingga pengirimannya, banyak orang kesurupan. Kesemuanya meminta buaya dibebaskan. Kala dipindahkan ke Gowa, para “keluarga” buaya ini makin nekat.

Mereka mengikuti sang buaya ke penangkaran. Di sana, mereka mendesak petugas agak pintu dibuka. Jumlah mereka yang banyak membuat pengelola tak bisa menahan. Hingga akhirnya, seorang jadi korban pada Senin malam, 17 Februari 2025.

Sejak awal, “keluarga” ingin mengambil buaya yang sedang ditangkar. Petugas tak mengizinkan karena berisiko. Buaya tetaplah reptilia buas. Tak sembarang orang bisa menyentuhnya, apalagi memindahkannya.

“Sudah empat malam selalu banyak masyarakat yang berkunjung mengaku sebagai keluarga dari buaya tersebut,” ucap Muhtar, salah seorang tenaga keamanan Cimory Dairyland, ditemui di lokasi penangkaran, Selasa, 18 Februari 2025.

Puluhan orang telah mengaku sebaga keluarga buaya itu. Pihak keamanan tak begitu saja menyerahkannya, meski mereka ngotot ingin mengambilnya. Tiga malam terakhir, rombongan orang makin banyak dan mulai mendesak. Polisi yang datang menjaga juga tak bisa membendung.

“Saya dan teman-teman terus menahan untuk tidak mendekat, tetapi waktu belum dibukakan pintu pagar kandang, t mereka bahkan mau merobohkan itu kandang karena mau ambil paksa itu buaya,” kata Muhtar.

Mereka membawa pisang, telur, songkolo, dan aneka makanan lain. Seorang sanro (dukun) ikut serta. Mereka bergantian mengelus buaya itu. Awalnya buaya itu memang tenang.

“Ndak lama kemudian, dipegang kembali, buaya tersebut mengigit juga,” lanjut Muhtar.

Beberapa malam sebelumnya buaya tersebut memang masih jinak lantaran masih dalam pengaruh bius. Saat efek bius habis, saat itulah beringas. “Keluarga” yang datang tak terkendali lantaran mengancam akan merobohkan kandang buaya jika tak dibukakan.

Sang buaya ditempatkan di Cimory lantaran BKSDA yang menitipkannya ke sana. Petugas juga ngotot tak menyerahkannya kepada “keluarga” dengan alasan keamanan dan kelestarian buaya.

“Tadi malam (Senin) ada lima mobil yang datang mau ambil, bahkan mereka sudah bawa mobil khusus untuk angkut itu buaya, belum lagi itu yang naik motor full juga datang,” ujarnya.

“Dan memang pihak kami sudah minta untuk dikeluarkan buaya tersebut, takutnya nanti malah menjadi masalah jika masyarakat terus berdatangan mau ambil paksa, dan infonya memang sudah mau dikasi keluar,” lanjut Muhtar.

Ukuran Besar

Pantauan langsung FAJAR di Cimory Dairyland, buaya itu dengan panjang sekitar 3,8 meter itu dalam keadaan normal. Terlihat mulai aktif bergerak sejak pengaruh biusnya hilang. Kandangnya juga aman, sebab dikelilingi pagar besi.

Pengunjung yang ingin melihat dan mengambil gambar di tempat itu juga aman. Banyak pengunjung datang berfoto di luar kandang. Ada juga petugas yang mengawasi di sekitar situ. Di lokasi itu, ada lima ekor buaya dengan kandang yang berbeda-beda.

Buaya yang sedang viral itu memang yang memiliki ukuran paling besar. Di dalam kandang, pisang dan telur berserakan. Itu digunakan sebagai sesajen doa-doa yang dibawa oleh rombongan masyarakat yang mengaku keluarga buaya.

Rata-rata “keluarga” ini datang pada malam hari. Mereka tak pernah datang pagi atau siang. Mereka memang diperkenankan datang pagi, sebab dikhawatirkan akan menganggu pengunjung yang berwisata.

Dewan: Ada Orang Yakin Sekali

Ketua DPRD Gowa Ramli Sidik Deng Rewa, menyampaikan kekhawatirannya terkait dengan adanya potensi bahaya yang timbul dari kedekatan manusia dengan buaya di kawasan wisata.

Ramli juga menanggapi mitos yang berkembang di masyarakat terkait hubungan manusia dengan buaya.
“Saya bingung ini, saya tidak tahu ada kata-kata masyarakat bersaudara dengan buaya. Ini hal yang perlu kita klarifikasi bersama,” kata Ramli.

Politikus PPP Gowa ini menekankan pentingnya pengelolaan yang baik dan pengawasan yang ketat terhadap buaya yang bisa berbahaya bagi pengunjung.
Pengelola kawasan wisata yang memelihara buaya sebaiknya tidak membiarkan pengunjung mendekati reptilia buas itu.

“Jangan sampai tiba-tiba buaya memangsa orang. Pengelola harus lebih berhati-hati dan memastikan pengawasan dilakukan dengan baik,” tegasnya.

Ramli heran terkait mitos di kalangan masyarakat yang meyakini memiliki hubungan atau ikatan khusus dengan buaya. “Saya juga heran, apakah ini mitos atau fakta, karena ada orang yang yakin sekali bahwa dia saudara dengan buaya,” ucap Ramli.

Batasan tegas mengenai area yang boleh dikunjungi oleh masyarakat di kawasan penangkaran mesti dibuat dan dipatuhi. Ini untuk menghindari korban baru muncul seperti yang terjadi sebelumnya, dukun diterkam buaya.

Dengan pengawasan yang lebih ketat dan pemahaman yang benar dari masyarakat, potensi bahaya dari kedekatan manusia dengan buaya dapat diminimalisasi.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Gowa Ratnawati mengungkapkan hingga saat ini pihaknya belum menerima laporan resmi dari pihak Cimory mengenai kejadian tersebut. Seluruh masyarakat diimbau tetap berhati-hati saat berinteraksi dengan satwa di destinasi wisata.

Terutama di tempat wisata seperti Cimory. Sebaiknya pengunjung didampingi oleh petugas yang ada di sana untuk memastikan keselamatan,” ujarnya.

Pihaknya akan terus berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memastikan keamanan dan kenyamanan pengunjung di destinasi wisata yang ada di wilayahnya.

Dipanggil Nenek,
Refleksi Harmoni Alam

Pengakuan buaya kembar manusia mencerminkan gangguan harmoni manusia dan alam. Klaim ini menyiratkan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.

Sosiolog Universitas Hasanuddin (Unhas) Sawedi Muhammad menilai pengakuan seorang warga bahwa seekor buaya adalah kembaran manusia bukanlah fenomena baru. ini merupakan bagian dari transisi masyarakat tradisional agraris menuju masyarakat industri modern.

“Klaim semacam ini bisa saja dianggap irasional oleh publik, namun dalam perspektif sosiologis, buaya kembaran manusia lebih dari sekadar mitos. Ini merupakan penanda terjadinya disrupsi keseimbangan antara manusia dan lingkungannya,” jelas Sawedi.

Ada pesan penting dari fenomena ini, mengingatkan bahwa relasi antara manusia dan alam tengah berada dalam kondisi tidak harmonis.

“Jadi manusia tidak boleh semena-mena memperlakukan hewan, merampas kebebasannya, atau menjadikannya objek hiburan demi kepentingan industri,” katanya.

Dalam kerangka pikir struktural fungsional, setiap bagian dari alam memiliki peran dan fungsi masing masing. Ketika fungsi tersebut tidak terganggu, maka keseimbangan dan keberlanjutan dapat tercapai.

Sebaliknya, jika fungsi-fungsi itu terganggu, konflik dan turbulensi sosial tak terhindarkan.

“Makin harmonis aktor-aktor dalam menjalani perannya, makin sehat sistem sosial-budayanya. Sebaliknya, makin kacau pengaturan peran dan fungsi, makin sakit pula sistem sosial-budayanya,” ujarnya.

Di beberapa wilayah Sulsel, buaya diperlakukan dengan penuh penghormatan dan bahkan dipanggil dengan sebutan “nenek.” Tradisi ini muncul karena pada masa lalu buaya tidak memangsa manusia, karena rantai ekosistem berjalan secara seimbang.

“Cerita rakyat tentang buaya sebagai kembaran manusia muncul karena adanya hubungan harmonis tersebut. Fenomena ini membawa pesan moral agar manusia menghentikan sikap serakah terhadap alam dan tidak menjadikan hewan sebagai komoditas bisnis,” tegas Sawedi.

Banyak bencana alam seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, hingga gempa bumi merupakan peringatan bagi manusia untuk menjaga keseimbangan alam.

“Hanya dengan menjaga keseimbangan ekosistem, kehidupan manusia bisa kembali harmonis dan stabil dalam jangka panjang,” pungkasnya.

Mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, yang juga tokoh masyarakat Sulsel, menyampaikan pandangannya terkait kepercayaan mitos lama yang beredar di kalangan masyarakat.

Ia mengajak masyarakat, khususnya Muslim, untuk kembali merujuk kepada ajaran Islam dalam menyikapi mitos-mitos yang tidak memiliki dasar ilmiah atau agama.

“Secara ilmiah, gen manusia dan buaya itu jelas berbeda. Dalam hal reproduksi juga berbeda, manusia beranak sementara buaya bertelur. Jadi, tidak mungkin manusia memiliki kembaran buaya. Ilmu pengetahuan memastikan hal ini tidak mungkin,” ujar IAS.

Ia juga menekankan pentingnya pemahaman agama dalam menghadapi mitos seperti itu. “Allah Swt sudah menegaskan bahwa Ia menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan. Proses berkembang biak makhluk-makhluk-Nya sudah ditentukan sesuai jenisnya. Kepercayaan kepada mitos tidak seharusnya mengesampingkan keimanan kita,” tuturnya.

Mitos manusia kembar buaya lahir dari kepercayaan lama yang turun-temurun. Namun, ia berharap masyarakat tidak larut dalam mitos tanpa dasar keilmuan dan agama yang jelas.

“Saya ingin mengajak masyarakat, terutama sesama Muslim, untuk meyakini kalimat ini: ‘Tiada upaya dan daya kecuali datangnya dari Allah Swt’. Segala sesuatu harus dikembalikan kepada keyakinan kepada Allah,” tegas Ilham.

Pernyataan Ilham ini diharapkan dapat menjadi refleksi bagi masyarakat Sulsel agar tetap berpegang pada ajaran agama dalam menghadapi berbagai kepercayaan lama yang ada di lingkungan mereka.

Mitos Lokal

Dosen Sejarah Universitas Negeri Makassar (UNM), Amirullah mengatakan fenomena pengakuan manusia bersaudara dengan buaya ini bisa dikaitkan dengan tradisi mappano tasi. Kebiasaan ini dilakukan sebagian masyarakat sebelum melangsungkan pernikahan.

Itu merupakan fenomena yang biasa dan kaya makna budaya. Tradisi ini berupa membawa sesajen ke laut atau sungai, sebagai simbol penghormatan dan doa kepada penunggu alam serta sosok yang dipercaya sebagai saudara atau keluarga yang berwujud buaya.

“Tradisi ini sering terlihat dalam hajatan pernikahan, di mana sesajen atau makanan dilepas di sungai atau laut. Hal ini menjadi bagian dari ritual meminta restu dan doa demi kelancaran acara,” ungkap.

Fenomena ini menunjukkan eratnya kepercayaan masyarakat terhadap mitos lokal dan hubungannya dengan alam sekitar. Buaya sering dianggap sebagai saudara gaib yang hidup di alam berbeda, yang harus dihormati melalui ritual khusus.

Kepercayaan ini layak untuk diteliti lebih dalam guna memahami akar budaya dan kearifan lokal yang membentuk tradisi tersebut. “Penelitian ini dapat membantu memperkaya wawasan tentang hubungan antara manusia, alam, dan tradisi yang terus diwariskan dari generasi ke generasi,” katanya. (sae/zuk)

WARISAN KUNO
MANUSIA REPTILIA

Mitos
-Mitos buaya kembar (bersaudara) manusia muncul sejak zaman lampau
-Di beberapa wilayah, dikenal dengan “anak mallajang”
-Ada orang yang diyakini punya kembaran bukan dalam bentuk manusia
-Kepercaan ini tumbuh dalam masyarakat Sulsel kuno

Menyebar
-Tak hanya suku Makassar, mitos manusia kembar buaya juga ada di masyarakat Bugis
-Ada kepercayaan, air ketuban ibu saat melahirkan membawa keluar kembaran buaya
-Dalam kitab Lagaligo, dewa dan dewi dari dunia langit dan dunia bawah laut turun ke bumi dengan duduk di punggung buaya

Rasionalitas Datang
-Mitos ini makin tergerus
-Masyarakat Sulsel mulai mengedepankan rasionalitas
-Meski begitu, kepercayaan tak tertulis ini masih hidup
-Ini pula yang terjadi dalam kasus buaya Antang yang diamankan ke Cimory, Gowa

Bertentangan Biologi
-Kembar manusia dan buaya tidak mungkin terjadi dalam dunia fisik
-DNA buaya dan manusia sangat berbeda
-Manusia dilahirkan dengan anak, buaya dengan telur menetas
-Sistem reproduksi dan perkawinan beda

Bijak Menyikapi
-Masyarakat sebaiknya tak menghakimi
-Kepercayaan “warisan” susah dihilangkan
-Sisi lain, itu wujud kecintaan terhadap sekeliling
-“Memanusiakan” buaya merupakan jalan kebaikan

Olah Data:
-Berbagai sumber

News Feed