English English Indonesian Indonesian
oleh

Empat Tahun Perhutanan Sosial

Oleh Nurrahma Yusria Oktavianty
Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), setidaknya dalam kurun waktu empat tahun terakhir, berhasil meminimalisir penghilangan atau penggundulan hutan (deforestasi).

Upaya itu terlihat pada angka deforestasi yang terus menurun, sejak tahun 2014 hingga 2015 laju deforestasi adalah 1,09 juta hektar. Kemudian pada tahun 2015-2016 menjadi 0,63 juta hektare dan pada tahun 2016-2017 hanya 0,48 juta hektare.

Pemerintah juga berkomitmen untuk meningkatkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat melalui program Perhutanan Sosial, sebuah program dalam kerangka Reforma Agraria sekaligus mengejewantahkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dalam program tersebut, masyarakat mendapatkan hak mengelola lahan hutan atau melakukan kegiatan usaha berbasis lahan hutan selama 35 tahun. Sebelum program ini, masyarakat hanya dapat mengelola 7% dari kawasan hutan, diagendakan meningkat secara signifikan menjadi 33%. Pemerintah menilai program ini akan mampu mengikis ketimpangan sosial karena seringnya masyarakat kecil terpinggirkan dalam konflik lahan, namun tidak mengabaikan perlindungan terhadap ekosistem hutan.

Lima skema

Program Perhutanan Sosial mulai didengungkan sejak tahun 1999, namun atensi terhadap agenda besar ini kurang maksimal. Pelaku Perhutanan Sosial adalah kesatuan masyarakat secara sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di kawasan hutan atau di dalam kawasan hutan negara yang keabsahannya dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), memiliki komunitas sosial berupa riwayat penggarapan kawasan hutan dan tergantung pada hutan, serta aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.

Pemerintah mengalokasikan 12,7 juta hektar untuk program Perhutanan Sosial pada periode 2015-2019. Legalitas pengelolaan kawasan hutan ini, dibuat dalam lima skema pengelolaan: Skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK).

Pada tahun 2007, program Perhutanan Sosial kembali digalakkan namun tetap tersendat. Kementerian LHK mencatat selama periode 2007-2014, hutan yang terjangkau akses kelola masyarakat hanya seluas 449.104,23 hektar. Setelah periode tersebut, selama kurang lebih tiga tahun masa Kabinet Kerja, meningkat seluas 604.373,26 hektar kawasan hutan yang legal membuka akses untuk dikelola oleh masyarakat. Hingga saat ini, Kepala Keluarga (KK) yang telah memiliki akses legal untuk mengelola kawasan hutan sejumlah 239.341 KK. Pada tahun 2019, Kementerian LHK menargetkan akan membentuk dan memfasilitasi 5.000-an Kelompok Usaha Perhutanan Sosial di Indonesia.

Belum optimal

Hasil dari program ini sudah mulai kelihatan, masyarakat telah berhasil merubah area yang semula berupa padang alang-alang dan menjadi sumber kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Jumlah pohon yang penebangannya dapat ditunda dengan adanya program Perhutanan Sosial tercatat 2.064.323 pohon, terdiri atas pohon Jati (Tectona Grandis), Sengon (Albizia Falcataria), Mahoni (Swietenia Mahagoni) dan sebagainya.

Namun diakui, pencapaian target luas wilayah Perhutanan Sosial selama empat tahun terakhir belum optimal. Hingga November 2018, Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), mencatat realisasi Perhutanan Sosial baru mencapai 16,8 % atau sekitar 2,13 juta hektar dari target 12,7 juta hektar. Hal ini antara lain disebabkan oleh jauhnya masyarakat dari akses infrastruktur sehingga menghambat pelaksanaan verifikasi kelompok masyarakat dan sosialisasi program, belum adanya pendampingan yang serius dari pemerintah serta masalah pembiayaan.

Langkah-langkah percepatan pemenuhan target pun terus digalakkan, karena program ini menurut Menteri LKH Siti Nurbaya, merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan. Sekaligus untuk meniadakan pemikiran, persepsi dan stigma kepada rakyat ilegal di dalam hutan.

Hal yang tak kalah pentingnya untuk keberhasilan program ini, pemerintah harus jeli melihat sejauh mana masyarakat pengelola Perhutanan Sosial mampu membangun kelembagaan secara baik dan adil dalam membagi manfaat hutan. Jika tidak, seperti yang dikhawatirkan oleh Suhardi Suryadi (Konsultan Knowledge Management Proyek), bahwa pelibatan masyarakat dalam program ini bukan partisipasi dari bawah melainkan lebih terkesan mobilisasi dari atas.***

News Feed