Hafid Abbas
Professor Tamu di Asia Center, Harvard University, 2006
Franklin D. Roosevelt dilantik sebagai Presiden AS ke-32 pada 4 Maret 1933. Ia menjabat selama empat periode berturut-turut, dari 1933 hingga 1945, menjadikannya sebagai presiden terlama sepanjang sejarah AS. Roosevelt memimpin AS ketika negaranya dilanda krisis ekonomi luar biasa, depresi besar (great depression), dan Perang Dunia ke-2. Ia wafat pada 12 April 1945, pada masa jabatannya untuk keempat kalinya.
Sekiranya tidak wafat, kemungkinan ia akan terpilih lagi untuk periode-periode berikutnya. Di masa itu, memang belum ada aturan tertulis tentang pembatasan masa jabatan seorang presiden AS.
Mengapa Roosevelt begitu dicintai oleh rakyatnya. Ternyata ia memiliki program New Deal yang telah dicanangkan pada 100 Hari Pertama masa kepemimpinannya. Lewat program ini, ia telah berjanji kepada seluruh rakyat AS: akan membebaskan lebih 13 juta rakyatnya dari pengangguran; akan mengambil tindakan tegas dan cepat untuk melakukan pertolongan (relief), pemulihan (recovery) dan penataan ulang (reform) semua kebijakan yang ada agar benar-benar prorakyat.
Ada satu pernyataan Roosevelt yang terkenal pada pidato pelantikannya, “demi kepentingan rakyat, satu-satunya yang harus kita takuti adalah rasa takut itu sendiri” (fdrlibrary.org).
Roosevelt tidak mau ditakut-takuti atau didikte oleh pendahulunya atau siapa pun jika harus menodai janjinya pada rakyatnya.
Salah satu aspek utama dari kebijakan New Deal adalah penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya (Job For All) melalui berbagai upaya, seperti pencanangan program PWA (Public Works Administration), CCC (Civilian Conservation Corps), dan WPA (Works Progress Administration). Bahkan, dalam seratus hari pertama masa kepemimpinannya, ia mengusulkan rencana besar-besaran untuk: menghidupkan kembali semua usaha ekonomi rakyat dan usaha pertanian; dan, memberi bantuan kepada mereka yang belum memiliki pekerjaan dan tempat tinggal.
Selain itu, lewat Social Security Act yang mulai diberlakukan pada 14 Agustus 1935, Roosevelt telah memperkenalkan program: asuransi pengangguran (unemployment insurance); pensiun sosial bagi lansia (old-age insurance); dan, bantuan (social-security recipients) bagi janda (single mother), penyandang disabilitas dan anak-anak terlantar.
Semua terobosan Roosevelt ini ternyata telah mempekerjakan jutaan penganggur yang terdampak krisis ekonomi. Dan, undang-undang jaminan sosialnya hingga kini masih tetap berlaku.
Misi Pemerintahan Prabowo
Mirip dengan situasi awal kepemimpinan Roosevelt dengan awal pemerintahan Prabowo, Indonesia menghadapi pula beragam tantangan global seperti: konflik bersenjata di Ukraina dan Palestina, rivalitas AS dan China atas Taiwan, krisis pangan dan perlambatan ekonomi global, dan sejumlah warisan masalah dalam negeri dari pendahulunya, seperti: kesenjangan sosial yang amat ekstrim, jumlah penduduk miskin yang sudah mencapai 40,7 juta (14,36%) dan rentan miskin 69,2 juta atau 24,82% (IDEAS, Policy Brief, Januari 2025), melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, tingginya angka pengangguran terbuka (7,86 juta jiwa), tingginya lulusan perguruan tinggi setiap tahun (Diploma, S1, S2, dan S3) yang menganggur (42% dari 1,1 juta lulusan), dan tingginya lulusan SMA, SMK dan MA setiap tahun yang juga tidak bekerja dan tidak lanjut, berkisar 47% dari 6,31 juta lulusan (BPS, 2023).
Jika unit cost setiap siswa SLTA setiap tahun menghabiskan anggaran Rp5-10 juta, dan setiap mahasiswa menghabiskan Rp10-40 juta (BPS, 2023), sudah berapa ribu triliun anggaran pendidikan habis sia-sia, karena hampir setengah lulusannya tidak bekerja dan tidak lanjut.
Selain itu, data juga memperlihatkan, dari 142,18 juta penduduk yang bekerja, terdapat 17,77% lulusan SLTP, dan 36,54% berpendidikan SD ke bawah, sehingga pekerja berpendidikan amat rendahlah (54,31%) yang telah menopang kegiatan ekonomi Indonesia selama ini (BPS, 2024).
Dari fakta-fakta itu, dari delapan misi pemerintahan Prabowo menuju Indonesia Emas 2045, misi pertamanya adalah: “Impian kami semua rakyat Indonesia mempunyai pekerjaan yang layak” dan misi keduanya: “semua anak-anak bangsa kita bisa sekolah dan menuntut ilmu terbaik dengan lancar.”
Pada Asta Cita ke-3, pemerintahan Prabowo akan meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur. Untuk mewujudkannya terdapat 29 agenda nyata yang akan dilakukan pada 2024-2029, seperti: menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya dengan mengutamakan tenaga kerja lokal untuk mengurangi tingkat pengangguran.
Untuk melaksanakan semua agenda itu, kelihatannya terdapat dua strategi yang dapat dilakukan yakni memetik pengalaman Filipina dan urgensi penyaluran sekitar 3,5 juta penganggur terdidik setiap tahun.
Belajar dari Filipina
Secara statistik, Filipina berpenduduk 119 juta, dan 49,54 juta di antaranya sudah bekerja yang tersebar di sektor jasa 62,1%, pertanian 20%, dan industri 17,9% baik di dalam atau di luar negeri (UN World Population Prospect, 2024). Data Philippine Statistics Authority (PSA, 2019) menunjukkan 59% dari seluruh jumlah penduduknya pernah bekerja sebagai pekerja migran. Tercatat, jumlah uang remitansi yang dikirim oleh sekitar 10,2 juta pekerja migrannya di luar negeri ke negaranya mencapai sekitar USD40 miliar (IOM, 2023).
Meski Indonesia berpenduduk ke empat terbesar di dunia yang kini sudah mendekati 300 juta, dan lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tingginya berkitar 7,4 juta setahun (3,5 juta di antaranya tidak bekerja dan tidak lanjut), namun peluang bekerja di luar negeri belum dioptimalkan. Indonesia hanya memperoleh USD9,96 setahun dari pekerja migrannya, atau hanya seperempat dari Filipina (IOM 2023).
Keberhasilan pemerintah Filipina mengirim begitu banyak warganya bekerja keluar negeri (Overseas Filipino Workers-OFWs) terutama kaum muda dan lulusan perguruan tinggi ternyata telah ditopang oleh peran Department of Migrant Workers/DMW (dmw.gov.ph) yang telah mengembangkan beragam strategi.
Pertama, DMW memberikan pelatihan keterampilan kepada setiap calon pekerja migran melalui lembaga Technical Education and Skills Development Authority (TESDA) yang dimaksudkan untuk memastikan agar mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan di pasar internasional, meningkatkan daya saingnya dan dapat memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih baik.
Kedua, DMW senantiasa meningkatkan upaya perlindungan hak-hak pekerja migrannya, seperti: menyediakan bantuan hukum di negara-negara tempat mereka bekerja; memperluas kerjasama bilateral dengan negara-negara tujuan; pembekalan kemampuan pengelolaan keuangan, investasi untuk masa depan; penyediaan layanan perbankan yang lebih baik untuk pengiriman uangnya ke keluarganya di Filipina dengan biaya yang lebih rendah, misalnya melalui OFBank.
Ketiga, DMW juga mengembangkan sarana dan prasarana yang lebih baik di dalam negeri untuk mendukung para pekerja migran dan keluarganya, seperti: pusat-pusat layanan pekerja migran, layanan online sehingga memudahkan memperoleh informasi yang dibutuhkan.
Pemerintah Filipina kelihatannya selalu hadir mendampingi setiap pekerja migrannya meraih mimpinya, mulai dari masa sebelum keberangkatan, penempatan hingga masa kepulangannya.
Urgensi Penyaluran Tenaga Kerja Terdidik
Keberhasilan Roosevelt membebaskan negaranya dari beban pengangguran lebih 13 juta, krisis ekonomi, dan depresi luar biasa, dan keberhasilan Filipina memperoleh devisa sekitar USD40 miliar setahun dapat menjadi pelajaran berharga bagi pemerintahan Prabowo. Jika mereka bisa, mengapa kita tidak.
Belajar dari Filipina, Jepang kelihatannya dapat menjadi destinasi bagi 3,5 juta penganggur terdidik Indonesia. Jepang menghadapi masalah serius dengan penduduknya yang kian menua. Kini, penduduk Jepang yang berusia 65 tahun ke atas telah meningkat ke angka tertinggi sepanjang sejarahnya, yaitu 36,25 juta jiwa (29,3% total penduduk). Angka ini akan terus meningkat, dan diperkirakan Jepang akan kekurangan pekerja 11 juta orang pada 2040 (CNBC, 21/09/2024).
Untuk memenuhi kebutuhan pekerja migran dengan keterampilan tertentu (tokutei ginou) di Jepang, kelihatannya, persyaratannya relatif sederhana yakni: usia di bawah 30 tahun; berpendidikan minimal SLTA; dan bisa berbahasa Jepang.
Sebagai testimoni, melalui kerjasama antara Wisma Hafid Training Center Cibubur dengan pihak Jepang, dalam beberapa tahun terakhir ini diperkirakan sudah mendekati 20 ribu pekerja migran yang telah diberangkatkan ke Jepang dengan tanpa ada kendala yang berarti.
Selain Jepang, kelihatannya terdapat 35 negara lain yang juga penduduknya semakin menua yang juga memerlukan pekerja migran dari negara lain. Kendalanya, Indonesia terhambat pada penguasaan Bahasa Inggeris dan Bahasa asing lainnya, sementara Filipina tidak.
Semoga, di era kepemimpinan Prabowo, Indonesia dapat segera terbebas dari bencana pengangguran sebagai buah dari pendidikannya bermutu amat rendah. (*)