English English Indonesian Indonesian
oleh

Seorang Teman di Langit: Diskusi Buku di Makassar Soroti Otonomi Batin Penulis dan Peran Agama dalam Sastra

FAJAR, MAKASSAR – Komunitas Anak Pelangi (K-Apel) menggelar diskusi buku kumpulan cerpen “Seorang Teman di Langit” karya Anil Hukma di Kampus Lorong, Jl. Daeng Jakking, Kelurahan Parang Tambung, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sabtu, 8 Februari 2025.

Prof. Mardi Adi Armin, Guru Besar Filsafat Bahasa, menyampaikan bahwa setiap penulis memiliki otonomi batin dan pikiran atas kata-kata yang lahir dari pemikirannya. “Bukan sekadar kebebasan teknis dalam menulis, tetapi juga kedaulatan batin dalam menyusun makna,” ujarnya.

Prof. Mardi menambahkan bahwa dalam proses kreatifnya, seorang penulis menakar realitas, menafsirkan kehidupan, dan menyusun narasi dari pengalaman serta refleksi mendalam. Penulis bukan hanya penyampai fakta, tetapi juga peramu imajinasi yang memberi nyawa pada teksnya. Karya yang dihasilkan bukan hanya cermin pemikiran penulis, tetapi juga jejak spiritual dan intelektual yang melekat dalam identitasnya.

Dalam diskusi buku “Seorang Teman di Langit”, Prof. Mardi juga menyoroti peran agama dalam menerangkan hal-hal abstrak, supranatural, dan eksistensi. Dalam konteks sastra, agama sering kali menjadi suluh yang menerangi sudut-sudut gelap pemikiran manusia, membantu memahami yang tak teraba. Penulis yang bersentuhan dengan tema-tema metafisik seringkali berada di persimpangan antara keyakinan dan interpretasi personal.

Agama, dalam pandangan ini, bukan sekadar dogma, tetapi juga lensa yang membantu manusia meresapi misteri keberadaan dan menuturkannya dalam bahasa yang lebih dekat dengan pengalaman batin penulis.

Hal ini, menurut Prof. Mardi, mungkin saja dialami oleh Anil Hukma dalam tulisan-tulisannya, di mana ia aktif terlibat dalam kajian keagamaan dan filsafat tasawuf modern, sehingga menggugah dan membawa pembaca pada ajaran ilahi.

Dr. Ram Prapanca, yang hadir sebagai peserta, memberikan tanggapannya bahwa ide dan objek adalah dua elemen yang layak disyukuri dalam proses penciptaan. Tidak ada tulisan yang lahir dalam kehampaan; selalu ada stimulus eksternal yang menggerakkan pemikiran dan menjadikannya rangkaian kata yang bermakna.

Dalam menulis, manusia sejatinya merespons dan menangkap jejak-jejak realitas, membingkainya dengan imajinasi, dan menyajikannya dalam bentuk yang dapat dinikmati orang lain. Dengan demikian, menulis bukan hanya tentang kebebasan, tetapi juga tentang keterhubungan dengan ide, dengan objek, dan dengan kehidupan itu sendiri. (*/)

News Feed