Modus operandi yang digunakan para tersangka adalah dengan mengajukan pencairan dana proyek yang tidak sesuai dengan progres pengerjaan. JRJ mengajukan termin XI (MC 23) dengan alasan sebagai target pencapaian prestasi proyek. Ia kemudian meminta dan mengarahkan saksi Sardilla, selaku Project Manager (PM), untuk mengajukan pencairan termin XI dengan klaim bahwa sudah ada koordinasi dengan pihak Kepala Satuan Kerja (Kasatker).
Padahal, sebelum pengajuan termin XI, bobot fisik proyek sebenarnya belum mencapai 61,782 persen seperti yang diklaim, melainkan hanya sekitar 53 persen. Berdasarkan opname terakhir yang dilakukan oleh PPK dan Konsultan Pengawas pada 4 Januari 2023, bobot fisik proyek hanya sebesar 52,171 persen. Saat dilakukan perhitungan fisik oleh ahli dari Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Provinsi Sulawesi Selatan, diperoleh kesimpulan bahwa bobot fisik di lapangan hanya sebesar 55,52 persen.
Menindaklanjuti permintaan PT Karaga Indonusa Pratama dalam termin XI (MC 23), tersangka SD selaku PPK C3 memproses pencairan pembayaran dengan alasan adanya perintah disposisi dari Kasatker agar segera diproses. Demi menyerap anggaran di akhir tahun 2021, SD memerintahkan saksi Farid (staf keuangan) untuk membuat dokumen keuangan sebagai kelengkapan pembayaran, meskipun laporan progres dari konsultan pengawas tidak mendukung pengajuan tersebut. SD, yang mengetahui bahwa pengajuan pembayaran pada termin XI tidak sesuai dengan bobot fisik di lapangan, tetap memprosesnya.