English English Indonesian Indonesian
oleh

Esai buat Prof Nurhayati Rahman: Tegarlah Wahai Sang Nurani

(Menyambut
  Peluncuran Buku
  Memoar "Aku di Antara
  Santri dan Tradisi)

Oleh Mahrus Andis

  Di kampus Unhas Baraya, 1970-an, saya memanggilnya Ati. Nama lengkapnya, Prof. Dr. Nurhayati Rahman. Dia putri seorang ulama kharismatik Sulawesi Selatan K.H. Abd. Rahman Matammeng. Saya dan Ati satu kampus di Fakultas Sastra (sekarang: Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Hasanuddin Makassar. Meski jurusan berbeda, dia Sastra Arab (belakangan berubah nama menjadi Asia Barat) dan saya Sastra Indonesia, namun kami selalu bersama-sama. Selain sahabat, saya dan Ati tetangga di jalan Sunu. Rumah kami sepelemparan batu dari kampus Fakultas Sastra.

Memoar tentang pribadi si kecil Ati yang bandel dan sakit-sakitan (namun humanis), hingga menyandang predikat Guru Besar, baru saja tamat saya baca. Sebuah buku berjudul "Aku di Antara Santri dan Tradisi" mengungkap sebagian kecil lembaran perjalanan hidup sahabat saya ini.

Buku setebal 193 halaman dengan desain cover lembut konvensional tersebut diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2024, bernomor ISBN 978-623-321-317-2 dan dieditori Yudhistira Sukatanya.
    Kesan pertama membaca buku itu, saya terharu. Tidak ada gambaran sebelumnya kalau sahabat saya itu lahir  dari pergelutan hidup keluarga yang cukup berat. Ayahnya, K.H. Abd. Rahman Matammeng, adalah mantan anggota Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI- TII) di bawah komando Kahar Muzakkar.
  Walaupun masih kecil, suasana hidup berpindah-pindah di antara  hutan, gunung dan lembah; ikut dirasakan pula oleh Nurhayati. Beruntunglah karena situasi bermain "kucing-kucingan" dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak berlangsung lama. Di tahun 1960, ayahnya keluar dari medan perjuangan DI-TII dan kembali hidup secara layak di kampung kelahirannya, Assorajangngè. Kampung ini menjadi markas perjuangan DI-TII yang terletak di wilayah Lappariaja, sekira 51 kilometer dari  Watampone, Ibukota Kabupaten Bone.

Menyisir ihwal kehadirannya, Nurhayati Rahman mencatat banyak hal di lembaran memoarnya. Dia mengetahui lika-liku kehidupan masa lalu keluarganya dari cerita Ibunya sendiri, Hajja Andi Zubaèdah. 

“Menurut ibuku yang akrab disapa Puang Baji, saat bergerilya, hidup di hutan bersama DI-TII adalah masa-masa paling gelap dalam perjalanan hidup keluarga kami. Hidup yang memaksanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu gunung ke gunung yang lain, dari satu lembah ke lembah lain, berpindah dari satu desa ke desa lain. Hidup dengan cara seperti itu, hanya mengandalkan petunjuk dan tanda-tanda alam, tentu terasa sangat sulit. Beruntung selalu masih ada saja dukungan logistik dari para pendukung DI-TII yang tinggal di kota”.

Demikian satu cuplikan cerita ibunya di halaman 3-4 buku tersebut.
Memoar ini membuat imaji kita terseret ke ceruk sejarah masa silam. Betapa sosok tokoh agama yang bergelar ulama berperan besar dalam pergolakan politik kebangsaan di era 1950-an. Ayah Nurhayati, K.H. Abd. Rahman Matammeng, sebagai seorang ulama kharismatik dan memiliki banyak santri, sempat “diculik” masuk hutan dan diajak bergabung dengan pasukan DI-TII. Saya sebut diculik, sebab peristiwa bergabungnya Gurutta ini ke dalam pasukan Kahar Muzakkar dilakukan tanpa rencana sebelumnya. Menurut Nurhayati di dalam memoar itu, ayahnya dicegat di tengah jalan ketika bersama gurunya, K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle menuju Makassar.

Di lingkungan DI-TII, ayahnya diposisikan sebagai Jaksa Agung Tinggi. Sementara K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle diangkat sebagai Perdana Menteri. Peristiwa pencegatan tersebut diceritakan pada halaman 81-82 buku ini.

“Peristiwa itu bermula pada sekira tahun 1954/1955 ketika tanpa sengaja, ayah bersama gurunya, Anregurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle, dalam perjalanan menuju kota Makassar. Tiba di sekitar Maqrang Pangkep, tiba-tiba rombongan mobil mereka dicegat oleh gerombolan DI-TII. Waktu itu, menurut pimpinan pencegat, DI-TII membutuhkan dokter, dan menurut pesan komandannya, ciri khas dokter menggunakan mobil putih. Kebetulan, mobil sedan Gurutta warna putih, karena itu langsung dicegat. Ketika mereka mengetahui penumpang mobil isinya adalah ulama,
maka serta merta mereka berkata, “Panrita jaji to”-ulama pun jadi”.

Berkiprah di dua latar dimensi kehidupan, sebagai produk kader pesantren yang dituntut mewarisi watak religius sang ayah, dan tempaan tradisi kebangsawanan ibunya; Nurhayati merasa “wajib” tampil berbeda dengan sesamanya perempuan. Ia dituntut oleh kodratnya untuk tetap istikamah menjaga nilai moral agama dan tradisi budaya keluarganya. Karena itu, dalam diri pribadi Nurhayati yang saya pahami sejak bersama di kampus, bersarang dua sifat yang amat kuat yaitu: teguh dan humanis.

Kedua sifat tersebut di atas itulah yang mengawal perjalanan karier Nurhayati Rahman di bidang keilmuan hingga dikenal sebagai Ahli La Galigo. Karakter ini ternarasi dengan jelas melalui bahasa yang menarik di dalam memoarnya.
Ketekunannya mengkaji naskah kuno secara otodidak mengantarkan dirinya meraih gelar S1. Selanjutnya, Nurhayati menyelesaikan pendidikan S2-Pascasarjana di Universitas Pajajaran Bandung dengan konsentrasi bidang studi filologi.

Capaian level keilmuannya hingga ia menyandang predikat Guru Besar di Fakultas Ilmu Budaya Unhas, saat ini, bukan perjuangan yang ringan. Ia lakukan sepenuh hati dengan dorongan tanggung jawab atas nama “siriq” keluarga.

Nurhayati tampil menjadi pejuang yang harus menghidupi ibu dan adik-adiknya setelah ditinggal ayah. Harapan keluarga agar ada di antara anak-anaknya yang bisa mewarisi ilmu ayahnya, turut menjadi amanah di atas pundak Nurhayati. Semangat itu menjadi cambuk perlawanan untuk menjaga siriq dan matabat keluarganya.

Nasib baik membuka peluang Nurhayati mendapatkan beasiswa ke berbagai negara untuk mendalami bidang keilmuannya. Akhirnya, di tahun krisis moneter, 1998, Nurhayati berhasil menyelesaikan program studi doktornya dengan predikat cumlaude.

Di saat Nurhayati, sahabat yang rasa saudara ini, sedang menikmati hasil perjuangan di balik gelar profesornya, saya pun mengakhiri masa pengabdian sebagai pegawai negeri di tempat kelahiran saya, Gantarang- Bulukumba. Saya dan Nurhayati masih sering bertemu di forum diskusi, bercengkerama, rekreasi di kebun miliknya, dekat sungai Pucak Maros. Terakhir, di tahun 2024, kami sempat baca puisi bersama para seniman di bawah kolong rumah milik nelayan keluarga almarhum penyair Badaruddin Amir di pesisir pantai Kabupaten Barru.

Saking akrabnya persahabatan kami, saya menulis satu puisi di tahun kelahiran Prof. Nurhayati Rahman 4 tahun yang lalu. Dan, ternyata puisi ini, ia pilih menjadi penutup halaman buku memoarnya. Inilah puisinya:

Tegarlah Wahai Sang Nurani

Susut sudah sekian halaman hari-harimu
Masa kanak-kanak yang memahat wajahmu lewat kaki-kaki hujan
Telah sempurna menjadi seekor kupu-kupu
Terbang dari bencah pematang
Lincah menyentuh tangkai menjuntai di sudut-sudut taman
Sampai kelopak bunga paling akhir

Kini
Jejakmu bergegas
Mengemasi perburuan hidup
Bernas bagai bulir-bulir padi di antara kicauan burung-burung pipit

Tegarlah wahai Sang Nurani
Di pucuk gemulai usiamu
Manik-manik rindu yang engkau sulam dari butiran peluh
Terhampar sudah dengan indahnya
Di halaman
Takdir-Mu.

Bulukumba, 29 Desember 2020

  Demikian catatan ringan atas hadirnya buku memoar sahabat saya, Prof. Dr. Nurhayati Rahman. Catatan kecil ini menyambut prosesi lounching buku memoar tersebut, 17 Februari 2025. Sukses selalu. Salamaqki tapada salamaq.

Mks, 6 Feb. 2025

News Feed