Arak-arakan Dewa-Dewi dan Budaya dalam rangka Imlek 2576 Kongzili yang berhasil dilaksanakan dengan sukses ternyata tak mudah. Penyelenggara butuh perjuangan keras untuk melaksanakan.
MUHLIS MAJID
Makassar
Ceritanya, ide agar Arak-arakan ini kembali dihelat setelah 11 tahun vakum itu bermula di acara ulang tahun Cetiya Tri Sakti. Tahun lalu, sekitar bulan Maret.
Di acara itu hadir para tokoh tionghoa dan pengurus kelenteng, wihara, dan cetiya. Di situlah, semua sepakat hingga mengadakan kegiatan arak-arakan.
“Kemudian April kami temui Pak Wali Kota Makassar (Mohammad Ramdhan Pomanto) dan beliau setujui,” ungkap Ketua DPD Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Sulsel, Henry Sumitomo kepada FAJAR, di Benz Kafe, Jalan Kajaolalido Makassar, Selasa, 4 Februari.
Setelah itu, pembahasannya sempat vakum dan baru dibahas lagi setelah 12 Oktober. Di situ mulai digenjot untuk persiapan hingga konsep pelaksanaannya.
Acara ini koordinir oleh DPD Walubi Sulsel dengan melibatkan banyak pihak. Terutama, pengurus-pengurus wihara, seperti Vihara Girinaga yang banyak memberikan kontribusi.
“Tapi semua berkontribusi besar tanpa terkecuali. Ada Klenteng Kwan Kong, Xian Ma dan semua, karena kalau saya sendiri tidak mungkin,” katanya.
Jadi tak mudah. Apalagi, butuh pengorbanan waktu dan tenaga, serta biaya yang besar.
Tak hanya itu, ada proses meminta restu dahulu kepada dewa-dewi. Salah satu caranya dengan melakukan tradisi pu poe (sarana komunikasi dengan dewa).
Syukur Henry, banyak dewa yang menyetujui hingga menjadi arak-arakan termeriah jika dibandingkan sebelumnya sebelumnya. Bahkan menjadi rekor karena pertama kali ada 12 kelenteng, wihara, dan cetiya yang ikut.
Kemudian untuk pertama kali dihadiri peserta sekira 6 ribu orang. Itu belum dihitung masyarakat yang ikut menyaksikan sepanjang rute arak-arakan yang memenuhi jalan.
Ketua Panitia Arak-arakan Dewa-Dewi, Roy Ruslim pun mengatakan bersyukur atas kesuksesan kegiatan ini. Sebab salah satu tujuannya untuk memperkenalkan budaya tionghoa untuk bisa disaksikan langsung oleh masyarakat luas di Makassar.
“Kita ingin memperkenalkan bahwa budaya tionghoa itu sarat dengan pesan-pesan moral. Menghormati orang-orang yang telah berjasa seperti negara besar yang selalu mengingat jasa-jasa pahlawan,” katanya.
Selain itu untuk menjadi salah satu sarana untuk memperlihatkan keberagaman Makassar yang ragam dengan budaya. Makanya yang ikut serta banyak dari masyarakat non Buddha yang berbaur tanpa sekat.
Hal ini menggambarkan Makassar yang aman dan damai. “Itulah tujuan kita dan berjalan dengan sukses,” katanya.
Di sisi lain kata dia, ini menjadi penyemangat bagi generasi untuk berkarya. Seperti 150 penari kolosal yang tampil yang persiapannya tidak mudah.
Menurut Roy, penari ini sudah latihan dari tiga bulan sebelumnya. Kemudian dalam seminggu itu latihan minimal tiga kali, bahkan hujan.
Pelatihnya pun tidak main-main. Pelatih dihadirkan khusus dari luar kota yang prestasinya sudah Go Internasional.
Pengurus Kelenteng Kwan Kong, Miguel Dharmadjie juga menyampaikan ketakjubannya atas gelaran arak-arakan yang dihelat pada 2 Februari itu. Menurutnya acara ini akan selalu diingat karena akan sangat melekat diingatan masyarakat.
Dia juga mengapresiasi antusiasme warga tionghoa yang sangat semangat mengikuti arak-arakan. Menurutnya, ini menjadi gambaran bahwa ada kepedulian untuk merawat budaya tionghoa di Makassar.
Termasuk para ummat di kelenteng yang sangat semangat ikut mengarak kio (tandu dewa). “Kita lihat antusiasme yang luar biasa karena warga datang dengan kompak saling bergantian menbawa kio-kio yang sebelumnya dilakukan ritual pa poe itu,” tambahnya.
Walubi pun menyampaikan terima kasih kepada seluruh masyarakat, pemerintahan dan seluruh forkopimda yang mensukseskan acara ini. Terkhusus tim yang dinilai sangat luar biasa bekerja keras.
Selanjutnya pada 12 Februari, kembali akan dilaksanakan perayaan Cap Go Meh di sepanjang jalan Sulawesi. (*)