Bencana kerap memporak-porandakan sebuah negara. Dengan infrastruktur resiliensi, ekonomi sebuah negara akan tangguh.
RIDWAN MARZUKI
New Delhi, India
PEMBANGUNAN fasilitas umum merupakan salah satu konsentrasi India. Tak hanya bisa dipakai, infrastruktur didesain tahan bencana.
Negara yang kini dipimpin Perdana Menteri (PM) Narendra Modi itu bahkan membentuk satu lembaga think tank yang fokusnya pada resiliensi infrastruktur. Lembaga ini bahkan menjalin kemitraan di ASEAN, Eropa, Afrika, Australia, Asia, hingga Amerika.
Namanya Coalition for Disaster Resilient Infrastructure (CDRI) alias Koalisi untuk Infrastruktur Tahan Bencana. Tak hanya asesmen dan asistensi infrastruktur, mereka juga terlibat mendampingi pendanaan terhadap negara-negara yang menjalin kemitraan dengan lembaga ini.
“Indonesia telah kami tawari untuk bergabung. Mereka sementara memproses,” beber Amit Prothi, Direktur Utama CDRI saat FAJAR berkunjung ke kantornya di New Delhi, India, kemarin.
Sejumlah pakar infrastruktur, bencana, desain, arsitektur, ekonomi, finansial, dan lainnya diajak bergabung dalam koalisi ini. Mereka yang akan memberi panduan bagi sebuah negara anggota yang bergabung ketika merencanakan pembangunan.
Amit memberi contoh gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu. Lantaran infrastruktur tidak resilien, kerugian bencana tercatat sangat besar. Ketika bencana telah terjadi, butuh waktu lama untuk membangunnya kembali.
Nah, proyek infrastruktur resiliensi ini digagas untuk meningkatkan daya tahan ruang publik dan prasarana umum menjadi lebih kuat. Pada muaranya, investasi pemerintah di sektor pembangunan akan lebih bermanfaat dan tak terus-menerus menambal sulam.
“Investasi infrastruktur resiliensi itu menguntungkan. Jika mengeluarkan USD 1, maka secara ekonomi pasti kembali USD 4,” sambung Amit.
Sejauh ini, di antara seluruh negara anggota koalisi, CDRI telah memiliki sejumlah negara donor dari Eropa dan Amerika. Bagi member baru di kawasan negara berkembang, CDRI bahkan menawarkan kerja sama gratis. Anggota yang bergabung akan diberi asesmen tanpa kewajiban membayar kontribusi.
“Ini gratis. Kalau Indonesia mau gabung, kami tak mewajibkan adanya kontribusi finansial,” beber Amit.
Lalu apa yang India harapkan dengan proyek “gratis” ini? Bagi Amit, India memiliki kesamaan tantangan dengan banyak negara, terutama negara berkembang, termasuk di Afrika dan Asia.
Membangun infrastruktur resiliensi, sama dengan menyelamatkan keuangan negara, lingkungan, dan masa depan anak cucu. Apalagi, dalam proyek kemitraan ini, fokus mereka juga pada energi terbarukan dan pembangunan ramah lingkungan.
“Ketika terjadi kerusakan infrastruktur, ekonomi juga menurun,” terang Amit lagi.
Harapan besarnya, negara-negara koalisi membangun infrastruktur tahan bencana ke depan. CDRI telah memiliki kerja sama dengan 42 negara dan 7 organisasi internasional demi mewujudkan proyek masa depan yang lebih aman bagi manusia dan fiskal masing-masing negara.
“Tidak ada kewajiban pendanaan bagi negara anggota. CDRI hanya memberikan dukungan atas pendampingan pakar dan hal-hal yang dibutuhkan negara anggota dalam mewujudkan infrastruktur resiliensi,” tandas Amit.
Di sisi Indinesia, CDRI sangat berharap bisa bergabung lantaran menjadi negara pelanggan gempa-tsunami dan banjir. Pada masa depan, investasi infrastruktur diharapkan bisa meminimalkan pengeluaran negara akibat mendanai rekonstruksi pascabencana.
Hal ini juga sejalan dengan langkah Confederation of Indian Industry (CII) atau semacam Kadin di India. Mereka ikut masuk mengerjakan proyek infrastruktur dari sekian banyak lini usaha yang mereka garap.
“Kita telah memiliki 300 MoU (kerja sama) di 100 negara, seperti Australia, Singapura Mesir, USA, Inggris, dan lain-lain,” beber pengurus CII, Sujata Sudarshan.
Sementara itu, Prof SK Mohanty, pakar Research and Information System (RIS) for Developing Countries India menyebutkan momentum kerja sama India-Indonesia mestinya masuk ke semua sektor potensial. Tak hanya infrastruktur, namun juga
perdagangan, manufaktur, pertanian, kesehatan, energi, dan lainnya.
“Kita banyak bersama Indonesia, di G20, dan lain-lain. Misalnya sekarang kita kerja sama jamu. Ke depan, kita juga mengagendakan blue economy. Di India, hal ini juga segera dibahas di parlemen,” kata Mohanty.
Menurutnya, secara parameter, ekonomi Indonesia bagus dan konsisten. Demikian juga rasio GDP. Hanya saja di sektor perdagangan yang baru USD 800 juta disebutnya belum maksimal.
“Itu masih di bawah dibandingkan potensi yang dimiliki,” sambungnya. (zuk)