Hal ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa aset negara, termasuk ruang laut, tidak boleh dialihkan atau dikuasai secara ilegal oleh pihak tertentu.
Andi Januar Jaury Dharwis mengajak seluruh pihak untuk berkaca pada proyek Center Point of Indonesia (CPI) di Makassar, yang reklamasi dan pemanfaatannya dilakukan melalui mekanisme yang sesuai dengan regulasi. Pada proyek CPI, reklamasi dilakukan berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh otoritas berwenang, dan setelah terbentuk daratan baru, penerbitan SHGB dilakukan sesuai prosedur hukum.
“Sayangnya, keberadaan CPI justru menjadi daya tarik bagi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dengan melakukan reklamasi liar di sekitar kawasan tersebut tanpa izin yang sah. Jika dibiarkan, ini dapat menjadi preseden buruk dan memicu semakin maraknya privatisasi laut secara ilegal,” katanya.
Selain itu, regulasi daerah yang sebelumnya mengatur tata kelola pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) telah dicabut akibat harmonisasi regulasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Kini, aturan tersebut dilebur ke dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulsel.
“Meski demikian, hal ini justru berpotensi melemahkan pengawasan pemanfaatan ruang laut karena ketentuan khusus terkait pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kurang terperinci dibandingkan regulasi sebelumnya,” ucapnya.