Oleh Aswar Hasan
Mark Twain seorang penulis dikenal dengan gaya satirnya yang tajam pernah berkata, “It’s easier to fool people than to convince them that they have been fooled.” (“Lebih mudah menipu orang daripada meyakinkan mereka bahwa mereka telah ditipu.”)
Kutipan ini mengungkapkan kenyataan yang pahit bahwa banyak orang lebih mudah percaya pada kebohongan daripada menerima bahwa mereka telah tertipu atau dibohongi. Fenomena ini terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, dari politik hingga media sosial, di mana-mana tejadi manipulasi informasi yang sering kali lebih efektif daripada fakta yang sesungguhnya?
Mengapa orang sulit menerima bahwa mereka telah tertipu, bagaimana mekanisme psikologis berperan dalam mempertahankan keyakinan yang salah, serta bagaimana cara menghadapi tantangan ini dalam kehidupan sosial dan politik harus bisa dijelaskan secara psikologis ataupun sosiologis.
Mengapa Orang Sulit menerima bahwa mereka telah tertipu? Adalah bukan soal sederhana. Bahwa salah satu alasan utama adalah karena telah terjadi bias konfirmasi. Ketika seseorang telah mempercayai sesuatu, mereka cenderung mencari informasi yang mendukung keyakinan mereka dan mengabaikan bukti yang bertentangan. Jika seseorang telah tertipu oleh kebohongan, mereka lebih suka tetap percaya pada kebohongan itu daripada mengakui bahwa mereka telah salah. Ini adalah salah satu dampak dari post truth akibat kepungan media sosial.
Selain itu, ego dan harga diri juga berperan besar. Mengakui bahwa kita telah tertipu berarti menerima bahwa kita kurang cerdas atau kurang waspada. Ini adalah hal yang sulit diterima bagi banyak orang, karena manusia secara alami tidak ingin merasa bodoh atau ditipu. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk bertahan dalam kebohongan daripada menghadapi rasa malu.
Fenomena lain yang memperkuat kesulitan ini adalah Efek Dunning-Kruger, Efek Dunning-Kruger adalah bias kognitif di saat orang yang kurang kompeten dalam suatu bidang tertentu cenderung melebih-lebihkan kemampuan mereka. di mana ia sebenarnya tegolong kurang memahami suatu topik tetapi justru lebih yakin bahwa mereka benar. Seseorang yang telah termakan propaganda atau informasi palsu sering kali merasa sangat yakin dengan pendapat mereka, sehingga sulit diyakinkan dengan fakta yang bertentangan.
Fenomena ini sangat jelas dalam dunia politik. Banyak politisi menggunakan retorika manipulatif untuk menipu rakyat. Mereka menyebarkan janji-janji kosong atau palsu melalui teori konspirasi yang menggugah emosi, karena mereka tahu bahwa emosi lebih berpengaruh daripada fakta.
Dalam banyak pemilu di seluruh dunia, propaganda dan berita palsu dalam Pemilu sering digunakan untuk memengaruhi opini publik. Setelah seseorang percaya pada kebohongan tertentu, mereka sulit diyakinkan dengan bukti nyata. Bahkan ketika kebenaran akhirnya terungkap, banyak orang tetap membela kebohongan tersebut atau mencari alasan lain untuk tetap percaya.
Di era digital seperti sekarang ini, media sosial memperparah masalah tersebut. Algoritma platform seperti Facebook atau Twitter dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan minat pengguna, yang itu, berarti seseorang yang sudah percaya pada suatu kebohongan akan terus menerima informasi yang memperkuat keyakinan mereka. Hal ini menciptakan “echo chamber”, di mana mereka hanya mendengar informasi yang mendukung pandangan mereka secara searah saja, tanpa mendapatkan perspektif lain.
Mengatasi fenomena Ini terkesan sulit, namun, ada beberapa cara untuk menghadapi tantangan tersebut, yaitu :
- Mengedukasinya dengan penuh kesabaran, daripada menyerang atau mempermalukan seseorang yang telah tertipu itu, lebih baik memberikan informasi dengan cara yang tidak mengancam ego mereka.
- Mendorong mereka untuk berpikir Kritis – Pendidikan harus lebih menekankan kemampuan berpikir kritis, sehingga mereka lebih skeptis terhadap informasi yang diterimanya.
- Menggunakan pendekatan yang mempertimbangkan faktor emosional. Betapa tidak, karena kebohongan sering menyebar melalui emosi, cara terbaik untuk melawan kebohongan adalah dengan narasi yang juga menyentuh emosi, namun tetap berbasis pada kebenaran
- Menghindari debat yang tidak produktif Dan tidak perlu. Jika seseorang sangat keras kepala dalam keyakinannya, terkadang lebih baik untuk tidak membuang energi berdebat dan fokus pada orang yang masih bisa diajak berdiskusi secara rasional.
Kutipan Mark Twain tersebut mengajarkan kita bahwa menipu orang jauh lebih mudah daripada meyakinkan mereka bahwa mereka telah tertipu. Mengajarkan bahwa bias kognitif, ego, dan pengaruh media sosial membuat orang sulit menerima kebenaran setelah mereka percaya pada suatu kebohongan. Dalam politik dan kehidupan sosial, fenomena ini dapat memiliki dampak besar, menyebabkan masyarakat terpecah dan sulit menerima fakta yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Boleh jadi itu telah terjadi di negeri ini.
Dengan bijak, melalui edukasi, berpikir kritis, dan komunikasi yang efektif, kita bisa membantu menciptakan masyarakat yang lebih sadar dan tidak mudah tertipu. Kebenaran mungkin sulit diterima, tetapi itu bukan menjadi alasan untuk menyerah dalam memperjuangkan sebuah kebenaran. Wallahu a’lam bisawwabe.