Di sudut Kota Makassar yang penuh warna, aroma rempah-rempah khas Bugis-Makassar menjadi penanda kehadiran warung-warung coto dan konro. Dua kuliner legendaris ini seolah bersaing abadi, menyajikan cerita yang lekat dengan masyarakat.
DEWI SARTIKA MAHMUD
Makassar
Kisah tersebut kini dihidupkan dalam film “Coto Vs Konro” karya Irham Acho Bachtiar. Komedi keluarga yang menghadirkan kehangatan, tawa, dan sedikit drama. Film ini tidak hanya menyoroti kelezatan makanan, tetapi juga intrik di balik usaha kuliner.
Dua tokoh utama, Haji Matto (Luthfi Sato), penjual coto tradisional, dan Daeng Sangkala (Awaluddin Tahir), pengusaha konro modern, menjadi pusat cerita. Warung Haji Matto sederhana, namun sarat tradisi dan kenangan, dengan meja kayu tua serta aroma kuah coto yang khas. Sebaliknya, resto Daeng Sangkala hadir modern dengan neon mencolok dan suasana mewah. “Ada adegan di mana Haji Matto dan Daeng Sangkala saling mencuri pelanggan dengan cara-cara yang absurd tapi lucu,” ungkap Sang Sutradara, Irham.
Dia menceritkan, misalnya, Haji Matto mencoba memikat pelanggan dengan menyebut coto sebagai makanan nenek moyang yang penuh sejarah. Sementara Daeng Sangkala menawarkan diskon besar-besaran yang membuat pengunjung tidak bisa menolak. Namun, di balik persaingan mereka, terselip kisah tentang kebanggaan masing-masing pada warisan kuliner yang mereka bawa. “Ini bukan sekadar perseteruan, tetapi tentang bagaimana mereka berusaha menjaga rasa dan identitas dari coto dan konro,” jelas Irham.