English English Indonesian Indonesian
oleh

Grey Divorce

SuarA: Nurul Ilmi Idrus

Perceraian tak hanya terjadi pada mereka yang berusia muda dengan alasan paling common adalah perselingkuhan atau kekerasan dalam rumah tangga. Perceraian juga terjadi pada pasangan lanjut usia, yang biasanya disebabkan oleh masalah perkawinan yang sudah berlangsung lama. Artinya, selama ini mereka hidup dalam hubungan beracun (toxic relationship). Lalu, apa itu grey divorce?

Grey divorce (perceraian perak) merupakan perceraian yang terjadi pada pasangan suami-istri yang berusia 50 tahun  ke atas. Perceraian semacam ini juga dikenal dengan istilah silver divorce atau empty-nest divorce. Dalam dekade terakhir,  hasil studi yang diterbitkan oleh National Center for Family & Marriage Research menunjukkan bahwa jumlah perceraian yang terjadi pada mereka yang berusia 65 tahun ke atas meningkat menjadi 15% pada tahun 2022 dari 5% pada tahun 1990. Meskipun penelitian ini dilakukan di Amerika dan istilah yang digunakan juga berbahasa Inggris (yang baru populer di Amerika pada tahun 2004), namun ini bukan hanya fenomena Barat karena grey divorce juga terjadi di berbagai negara, seperti Jepang, Korea, Kanada, Inggris, Australia, India, termasuk Indonesia, dan ini bukan sesuatu yang baru.

Dalam rumah tangga banyak orang yang berada dalam situasi dimana rumah tangga telah kehilangan keharmonisan, kesenangan, dan makna. Ada beragam faktor yang menjadi pemicu kenapa orang akhirnya memilih bercerai di usia kanjut. Media sosial menyebarkan informasi tentang pentingnya hidup dalam kebahagiaan karena ini menyehatkan mental seseorang. Jika mereka berada dalam situasi hubungan beracun, maka ini tidak membahagiakan yang bersangkutan dan mengganggu kesehatan mental mereka. Jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama, ini akan memicu depresi. Biasanya orang tua tidak ingin bercerai ketika mereka masih memiliki anak dan mereka tak ingin anak yang sedang berkembang terganggu oleh perceraian orang tuanya. Ketika anak telah dewasa dan menikah, mereka menganggap bahwa mereka akan lebih siap untuk menghadapi perceraian orang tua mereka, sehingga lebih ringan bagi orang tua untuk bercerai karena mereka ingin menikmati masa tua mereka dengan kebahagiaan yang telah lama hilang dalam pernikahan.

Di usia lanjut, mereka biasanya mengalami apa yang disebut sebagai sindrom sarang kosong (emptynest syndrome), yakni sindrom karena merasa sendiri setelah ditinggal menikah oleh anak-anak dan tinggal terpisah dari mereka. Ketika pasangan lanjut usia tinggal berdua dalam hubungan beracun yang telah berlangsung lama karena berbagai persoalan yang tak terselesaikan, maka ini semakin diperparah oleh rasa kekosongan (emptiness). Ini membuat mereka menjadi lebih mudah memutuskan untuk bercerai demi kebahagiaan yang telah terenggut selama ini.

Di Indonesia, istilah grey divorce memang tidak common terdengar, tapi bukan berarti tidak terjadi. Yang common terjadi adalah perpisahan di usia lanjut (silver separation), tapi biasanya ini menuju ke grey divorce, meskipun tidak bercerai secara legal karena mereka malas untuk berurusan dengan pengadilan. Secara sosial orang-orang yang telah berpisah secara permanen semacam ini distatuskan “bercerai.”

Orang seringkali mempertanyakan kenapa orang bercerai di usia lanjut, apa lagi jika hubungan keduanya baik-baik saja pasca perceraian. Tapi orang yang bercerai adalah orang yang paling mengetahui duduk persoalan di antara mereka berdua. Hubungan baik pasca perceraian justru terjadi karena mereka telah bercerai dan terlepas dari beban. Orang berhak untuk berbahagia dan terkadang perceraian justru membawa kebahagiaan, bahkan di usia lanjut. It’s a grey divorce.

News Feed