English English Indonesian Indonesian
oleh

Rahimahullah Pak Alwi Hamu

Oleh: Aidir Amin Daud

Ini hari-hari duka panjang bagi begitu banyak orang. Sejak Haji Muhammad Alwi Hamu dikabarkan berpulang ke Rahmatullah — Sabtu pagi kemarin — begitu banyak orang yang menulis tentang Pak Alwi (begitu saya memanggilnya). Begitu banyak kawannya dan mantan anak buahnya yang berdiam di berbagai negara dan daerah di Indonesia menuliskan semua kebaikan Pak Alwi. Semua penulis di berbagai jenis media menuliskan berbagai pengalaman mereka bersama Pak Alwi. Maka dua hari ini, banyak orang menjadi lebih mengenal Pak Alwi. Tulisan berbagai kalangan dalam hari terakhir ini, menghadirkan Pak Alwi dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya sebagai tokoh pers Indonesia, penggagas berbagai kegiatan yang terkait kewirausahaan para saudagar Bugis, sahabat dan tim sukses Pak JK sebagai pemimpin Indonesia dan pendiri Universitas Fajar serta lembaga pemikiran lainnya.

Saya mengenal Pak Alwi secara pribadi ketika Harian Fajar siap untuk diterbitkan. Doktor Sinansari ecip — Pak ecip — mengajak saya dan beberapa mahasiswa Unhas (termasuk Hamid Awaluddin — guru besar FH-UH, mantan Menkumham RI dan Dubes RI di Moskow) untuk bergabung sebagai bagian dari tim reporter Harian Fajar. Kami berkantor di sebuah ruangan yang besar dan meski sederhana karena berada di gedung yang sudah lama, tetapi disiapkan dengan rapi dan bersebelahan dengan ruangan kerja Pak Alwi di Ahmad Yani Makassar. Di sana juga berkantor pemimpin redaksi Fajar: Harun Rasyid Djibe dan Dr Sinansari ecip.

Pak Alwi sesekali masuk ke ruangan redaksi untuk menyapa para wartawan terutama pada tengah malam menjelang waktu deadline Harian Fajar. Mengirim kue-kue ringan yang ada di ruangannya. Memberi semangat — karena Harian Fajar terbit di saat beberapa koran sudah mendominasi pasar dan ruang baca semua kalangan di Makassar dan Sulsel. Ketika koran utama — Harian Pedoman Rakyat — meresmikan gedung barunya yang bertingkat tinggi dan mewah, Pak Alwi memerintahkan Pak Syamsu Nur (Direktur/Pemimpin Perusahaan Harian Fajar) untuk kembali merenovasi ruangan kerja di Harian Fajar. Tentu pertimbangannya agar semangat dan daya juang kami semua tidak ‘drop’ dan kami minder menghadapi fasilitas yang dimiliki pemimpin pasar yang begitu berlebihan di banding kantor kami. Sebagian dari kami harus memahami bahwa fasilitas yang diberikan Pak Alwi — sudah sebatas kemampuan beliau sebagai pemegang saham mayoritas. Pak Alwi saat itu juga membatasi ‘kesenangan pribadinya’ dengan tidak membeli mobil seri terbaru termasuk menunda membangun rumahnya (sesuatu yang kami semua tahu, karena seringnya kami diundang bersama untuk acara makan bersama, buka bersama, Idulfitri, dsbnya).

Pak Alwi selalu ingin kami semua menjadi satu keluarga, berjuang bersama dan tumbuh bersama. Pak Alwi bersama Pak ecip selalu meyakinkan kami, bahwa mutu karya jurnalistik lebih penting dari kemasan sebuah koran (saat itu Harian Pedoman Rakyat sudah dicetak dengan mesin full-colour). Pak Alwi ikut berbahagia pada suatu kesempatan — dalam acara Hari Pers Nasional yang menyelenggarakan lomba tulis dan foto, Hamid Awaluddin ikut memenangkan lomba menulis feature dan saya menjadi pemotret terbaik saat itu. Saat itu saya menggunakan kamera bermerk ‘Fuji’ seri termurah. Padahal para wartawan senior sudah menggunakan kamera ‘Canon’ dan bahkan ada yang menggunakan kamera ‘Nikon.’ Saya ingat Pak ecip memaksa kami semua untuk tetap ikut lomba memotret meskipun kamera kami bukan kamera terbaik. Sepertinya saat itu Pak Alwi ikut memberikan hadiah khusus kepada saya dan tak menyangka saya bisa menang.

Pak Alwi cukup memberikan banyak kesempatan jurnalistik kepada saya. Ketika Pak JK melakukan perjalanan ke Fukuoka, Hiroshima, dan Tokyo (dalam rangka membeli KM Athirah dan mengunjungi kota Toyota) — Pak Alwi mengusulkan saya yang ikut bersama dengan tiga wartawan lainnya: Fahmy Myala (Kompas), Chaerul Muluk (Harian Surya) dan Yasmin Tendan (Pedoman Rakyat). Pengalaman perjalanan jurnalistik luar negeri saya yang pertama. Entah apa pertimbangan Pak Alwi — ketika tiga bulan kemudian PWI Pusat meminta nama wartawan untuk ikut dalam program wartawan ASEAN (CAJ) dan wartawan Jepang (NSK) selama 40 hari di Jepang, Pak Alwi memanggil saya, “Dir kalau saja yang ikut ini ya. Kan kau sudah pernah ke Jepang,” kata Pak Alwi di ruangannya. Sebuah pengalaman perjalanan yang tak pernah saya lupakan karena mengunjungi Jepang dari ujung ke ujung. Dari Minamata hingga ke Sapporo di dekat Rusia sana. Persyaratan saat itu, harus pandai berbahasa Inggris. Mungkin saat itu Pak Alwi menilai saya mampu untuk itu.

Pak Alwi adalah Bapak yang baik bagi kami semua di Harian Fajar. Tak ada kemarahan yang keras, tak ada PHK untuk siapapun dan tak ada dendam kepada siapapun. Suatu hari — saya lupa dimana masalahnya — saya menuliskan kritik saya yang amat keras kepada Pak Harun Rasyid Djibe (Almarhum. Alfatihah untuk beliau.) Pak Alwi memanggil saya. “Dir tak tak mungkin saya membela kau ini. Kau pergi ke mana dulu. Biar marah Pak Harun reda dulu. Saya tak mungkin memecat kau. Tapi kau mengerti lah,” kata Pak Alwi. Pak Alwi setuju ketika saya menyampaikan ingin mengikuti kursus Bahasa Inggris di LIA Jakarta. Ia memberi saya uang tambahan. “Belajar ko yang baik,” katanya. Belakangan setelah beberapa masa saya kembali ke Makassar, bertemu kembali dengan Pak Harun dan semuanya berjalan baik kembali. Saya amat tahu, tak pernah ada ‘PHK’ di Harian Fajar.

Sebagai Wartawan Harian Fajar — saya merasakan begitu banyak kebaikan Pak Alwi. Begitu banyak pengalaman di luar yang tentu saya bisa dapatkan karena dukungan dan latar belakang saya sebagai jurnalis Harian Fajar. Sebagai wartawan saya mendapat undangan Kemlu Amerika Serikat untuk mengikuti ‘International Visitor Program’ di sekitar 12 negara bagian di Amerika Serikat. Begitu juga dengan beberapa program Kedubes Inggris dan Konjen Jepang di Makassar. Pak Alwi selalu mendukung kami mengikuti program seperti itu.

Ketika saya menjadi Ketua KPUD Sulsel atas izin Pak Alwi — dia memberi selamat ke saya. Beliau bertanya, apakah saya tetap masih punya waktu, saya memberi tahu akan pelajari satu-dua bulan. Ketika kemungkinan akan sibuk sekali di KPUD, saya menyampaikan ke Pak Alwi — bahwa saatnya saya pamit dari Harian Fajar. “Semoga sukses ko Dir. Nanti bagian keuangan urus semua hak pesangonmu. Kalau mau pakai itu mobil dinasmu, pakai saja terus,” begitu kira-kira kata Pak Alwi. Belakangan uang pesangon ditransfer ke rekening saya — yang jumlahnya cukup besar bagi saya dan keluarga. Saya tetap menggunakan mobil yang diberikan saya pakai dan buku BPKB diberikan ke saya. Harian Fajar memutuskan bahwa saya tetap boleh menulis di kolom ‘Beranda’ (sampai hari ini) dan akan menerima honorarium sebagai penulis yang jumlah cukup besar bagi saya. Semuanya tentu dilakukan oleh jajaran pimpinan Harian Fajar — atas perintah dan restu Rahimahullah Pak Alwi Hamu.

Saya bersyukur mendapat kesempatan semester-dua meter mengusung keranda Pak Alwi begitu tiba di rumah duka jalan Tendean Sabtu malam — dan di Masjid Al-Markaz sehabis zuhur kemarin. Tak mungkin saya membalas kebaikan material dan moril yang diberikan Pak Alwi ke saya. Di depan jenazahnya — saya memanjatkan doa ampunan atas kekhilafan beliau dan semoga semua amal ibadah beliau diberikan limpahan rahmat yang mengantarkan beliau ke ruang surga Allah SWT. Aamiin YRA. Selamat jalan Rahimahullah Pak Alwi Hamu. (*)

News Feed