English English Indonesian Indonesian
oleh

Bohong yang Manis vs Jujur tapi Pahit

Secangkir Teh: Aswar Hasan

Abraham Lincoln sejak masa kanak-kanak telah dipanggil dengan julukan “Honest Abe” atau “Abe yang jujur” oleh kawan-kawannya. Sejak kecil, Abraham Lincoln memiliki sikap yang jujur dalam perkara sekecil apapun.

Sewaktu, Abraham Lincoln menjadi penjaga toko di New Salem, Illinois. Suatu petang, saat mencatat laporan keuangan toko, Lincoln mendapatkan bahwa secara tak sengaja ia telah memungut bayaran sekitar 6 sen lebih banyak dari salah seorang pelanggan. Peristiwa itu, membuatnya gelisah. Padahal, jika ia mendiamkannya, tak seorang pun tahu. Namun ia tak bisa membiarkannya. Maka, malam itu juga, ia berjalan kaki sejauh beberapa mil ke rumah pelanggan itu untuk mengembalikan uang tersebut.

Nilai kejujuran yang dimiliki oleh Abraham Lincoln ini menjadi salah satu kunci keberhasilan hidupnya. Terbukti kemudian, pada tanggal 4 Maret 1847, Abraham Lincoln mewakili negara bagian Illinois sebagai anggota US House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat AS), dan bahkan kemudian menjadi orang nomor satu di Amerika pada tahun 1861.

Olehnya itu, di tengah dunia yang semakin kurang menghargai kejujuran. Tataplah jujur, dari hal-hal yang kecil dan setialah melakukannya. Percayalah, suatu saat Anda pasti akan menuai berkat dari kejujuran yang Anda tabur. Berlaku jujur pasti akan mendatangkan banyak kebaikan besar bagi orang yang melakukannya. Mulai hari ini, tantanglah diri Anda untuk berlaku jujur


  • Suichiro Yagami, tokoh dalam serial Death Note, berkata; “lebih baik menerima kejujuran yang pahit daripada kebohongan yang manis” Pernyataan ini, menghadirkan dilema moral dan etika yang tidak ringan dalam hidup dan kehidupan.

Sebuah kejujuran, meskipun kadang menyakitkan, justru merupakan fondasi hubungan yang kuat dalam kehidupan yang bermakna. Ketika seseorang memilih untuk jujur, ia telah mempertaruhkan sejumlah risiko. Dari disalahpahami, ditolak, hingga bahkan kehilangan kepercayaan orang lain. Namun demikian sebuah kejujuran tetap menjadi jalan yang harus ditempuh demi pertaruhan integritas dan kebenaran.

Sebaliknya, sebuah kebohongan sering tampak menggoda karena menawarkan kenyamanan secara instan. Dalam situasi tertentu, kebohongan bisa menjadi jalan keluar cepat untuk menghindari rasa malu, rasa bersalah, atau ketegangan. Namun, kebohongan yang manis tersebut, ibarat racun yang perlahan menggerogoti kepercayaan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Ketika seseorang terbiasa untuk berbohong, ia menciptakan ilusi yang pada akhirnya sulit dipertahankan. Sebuah kebohongan seringkali membutuhkan kebohongan lain untuk menutupinya, menciptakan lingkaran tak berujung yang menguras energi dan merusak hubungan.

Dalam konteks yang lebih luas, nilai kejujuran juga berdampak pada negara terlebih jika kebohongan itu dilakukan oleh pemimpin negara. Sebuah bangsa yang dibangun di atas kejujuran, meskipun harus menghadapi kenyataan pahit seperti korupsi, ketimpangan sosial, atau masalah lainnya, memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh menjadi masyarakat yang adil dan maju. Sebaliknya, ketika kebohongan dan manipulasi menjadi norma, masyarakat cenderung runtuh oleh beban ketidakpercayaan dan kecurigaan akibat kebohongan itu. Wallahu a’lam bisawwabe.

News Feed