Djoko Surojo banyak mengulas hubungan kesejarahan antara pulau Jawa dengan Pulau Sulawesi, baik di bidang perdagangan maupun pada dimensi kebudayaannya. Idiom-idiom kultural seperti Sambung Jawa, Kanrè Jawa, Puru Jawa, Aju Jawa, Rappo Jawa, bahkan hingga Jawa Rantè; pasti menarik apabila ditelusuri makna semiotiknya dari aspek sejarah dan budaya Bugis-Makassar.
Sementara, Syamsul Bachri Daèng Anchu mencoba mengais filosofi karaèng dari sudut linguistik sesuai adat yang berlaku di Makassar. Konon, asal-usul istilah karaèng berawal dari bahasa Arab yaitu: karim, yang berarti mulia. Menurut Daèng Anchu, terjadi proses idiolek (morfofonemik) dari kata karim menjadi karaèng dalam interaksi sosial masyarakat Arab dan Makassar. “Tapi saya belum tahu secara pasti, apakah cerita ini benar atau tidak”, katanya.
Tentang cerita tersebut, saya pernah mendengarnya juga dan bahkan saya sudah tulis di beranda fesbuk beberapa tahun lalu. Namun, tentu saya juga sama pendapat Daèng Anchu bahwa cerita ini masih bersifat konon dan perlu penelitian oleh ahlinya.
Satu hal yang, menurut saya, menantang dalam forum dialog itu. Istilah Projek Jongayya, sebagai cikal bakal pelestarian sejarah dan pengembangan budaya lokal di Makassar, maupun di Sulsel umumnya, penting diperjuangkan. Jongayya memiliki manik-manik sejarah kerajaan yang kaya dengan nilai kearifan leluhur Bugis-Makassar. Untuk bahan pemikiran ke depan, peserta dialog, termasuk saya, sangat mendukung gagasan Jongayya Project sebagai ikonisitas Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan dalam konteksasi Program Pemajuan Kebudayaan sesuai Undang-undang No. 5 Tahun 2017.