English English Indonesian Indonesian
oleh

Hati-Hati dengan Gelar Anda

Oleh Aswar Hasan

 Suatu hari, Imam Abu Hanifah berjalan-jalan lalu berpapasan dengan seorang anak kecil yang sedang berjalan mengenakan sepatu kayu yang agak tinggi. Karena khawatir, Sang Imam lalu menasihati anak tersebut dengan berkata; “Hati-hati, Nak, dengan sepatu kayumu itu. Jangan sampai kau tergelincir.”

Mendengar nasehat yang lembut itu, anak kecil itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas perhatian Imam. Kemudian ia bertanya: “Bolehkah saya tahu nama Anda, Tuan?”  Imam menjawab: “Nu’man bin Tsabit”. Anak itu sempat kaget lalu melanjutkan: “Jadi, Tuan lah yang selama ini terkenal dengan gelar al-Imam al-A’dham (Imam Agung) itu? Imam menjawab: “Bukan aku yang menyematkan gelar itu. Tapi masyarakatlah yang berprasangka baik dan menyematkan gelar itu kepadaku.”

Mendengar itu, anak kecil tersebut kemudian berkata sembari memberikan “nasihat yang mendalam”: “Wahai Imam, hati-hati dengan gelarmu. Jangan sampai Tuan tergelincir ke neraka gara-gara gelarmu itu. Sepatu kayuku ini mungkin hanya akan menggelincirkanku di dunia dan cedera fisik. Tapi, gelarmu itu dapat menjerumuskanmu ke dalam api yang kekal jika kesombongan dan keangkuhan menyertainya.”

Mendengar nasihat tersebut, seketika Imam Abu Hanifah tersungkur terharu dan menangis, ia bersyukur atas peringatan yang datang dari seorang anak kecil.

Kisah ini mengajarkan bahwa gelar dan kedudukan adalah amanah yang harus dijaga dengan kerendahan hati, serta pentingnya menerima nasihat dari siapa pun, tanpa memandang usia atau status. Dalam kehidupan ini, gelar, pangkat, dan jabatan sering kali dianggap sebagai simbol keberhasilan. Mereka yang memiliki gelar tinggi atau menduduki jabatan tertentu dipandang sebagai orang yang berhasil. Namun, kita sering lupa bahwa di balik gelar, pangkat, atau jabatan, terdapat tanggung jawab besar yang harus ditunaikan, bukan sekadar kehormatan yang layak dibanggakan. Lebih dari itu, sikap sombong terhadap gelar atau jabatan adalah awal dari kejatuhan moral seseorang.

Sesungguhmya, hakikat gelar, pangkat, dan jabatan hanyalah titipan Allah SWT. Kesemuanya itu bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk menjalankan amanah dan memberi manfaat kepada orang lain. Sayangnya, manusia sering tergelincir dalam godaan untuk merasa bangga dan sombong atas apa yang dimilikinya itu. Mereka lupa bahwa segala  identitas keberhasilan (gelar, pangkat dan jabatan) berasal dari pertolongan Allah SWT. Dan, bukan semata-mata hasil kerja keras pribadi.

Allah SWT   menasehatkan melalui Firmannya; “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 37).

Ayat ini mengingatkan bahwa kesombongan hanya membawa kehinaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Kesombongan terhadap gelar, pangkat, atau jabatan adalah sifat yang sangat berbahaya. Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” (HR. Muslim).

Hadis ini memperingatkan bahwa kesombongan, sekecil apa pun, dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk meraih kebahagiaan abadi di surga.

Orang sering kali lupa bahwa segala sesuatu yang dimilikinya adalah titipan yang bisa diambil kapan saja. Ketika gelar, pangkat, atau jabatan digunakan untuk merendahkan orang lain, ia telah menyimpang dari tujuan mulia amanah tersebut.  Sesungguhnya, kesombongan hanya akan mengisolasi dirinya dari rahmat Allah dan menjadikannya terasing dari sesama manusia.

Olehnya itu, perlu dan penting menghindari bahaya kesombongan, seseorang harus senantiasa menjaga untuk ikhlas. Gelar, pangkat, atau jabatan seharusnya menjadi alat untuk mengabdi dan melayani, bukan untuk dilayani. Ingatlah bahwa semakin tinggi posisi seseorang, semakin besar pula tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT.

Kisah Imam Abu Hanifah menjadi salah satu contoh nyata. Ketika seorang anak kecil mengingatkannya agar tidak tergelincir oleh gelarnya sebagai ulama besar, Imam Abu Hanifah dengan rendah hati menerima nasihat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan orang yang memiliki ilmu dan kedudukan tinggi tetap membutuhkan pengingat untuk menjaga dirinya dari kesombongan.

 Bahwa gelar, pangkat, dan jabatan tidak seharusnya menjadi sumber kebanggaan apalagi kesombongan. Karena sesungguhnya itu adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dengan penuh kerendahan hati. Keikhlasan adalah kunci untuk menjaga hati dari penyakit sombong, sementara kesadaran bahwa kesemuanya itu adalah titipan Allah mengingatkan kita bahwa semuanya bersifat sementara.

Semoga kita selalu diberikan kekuatan untuk memanfaatkan gelar, pangkat, dan jabatan yang kita miliki sebagai sarana untuk berbuat baik, bukan sebagai alat untuk meninggikan diri di hadapan manusia. Karena pada akhirnya, yang akan dinilai oleh Allah bukanlah kedudukan kita di dunia, melainkan ketakwaan dan amal perbuatan kita. Wallahu a’lam bisawwab

News Feed