Oleh: Nurul Ilmi Idrus
Menurut Vicki Print (2019), penulis buku “All You Need is Less,” banyak hal yang diinginkan manusia lebih dari kebutuhannya atau apa yang dimilikinya, seperti lebih banyak waktu luang (more free time), ruang (more space), gaya hidup sehat (more healthy lifestyle), hubungan yang positif (more positive relationship). Tapi, kita juga memiliki banyak komitmen, sehingga sulit untuk mencapai semuanya, apalagi untuk mencocokkannya dengan jadwal kita yang sibuk. Dari semua yang keinginan yang serba lebih ini, Print memberikan respon yang sederhana: “All you need is less,” sebuah respon yang bertolak belakang dengan berbagai keinginan lebih tersebut. Artinya, kita disarankan untuk melawan keinginan dengan kebutuhan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita tidak bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan, sehingga kita selalu berkeinginan untuk menambah apapun yang kita miliki. Meskipun seseorang telah memiliki banyak baju, sepatu, tas, dan berbagai assesoris lainnya, tapi ia selalu merasa kurang, apalagi jika ia melihat dirinya sebagai trendsetter. Namun ketika akan keluar rumah, apalagi jika akan ke kondangan atau acara resmi lainnya, maka ia (terutama perempuan) akan selalu merasa tidak memiliki baju dan pernak-pernik lainnya. Ia selalu ingin sesuatu yang lain (wanting more), sehingga pikirannya menjadi tidak sehat (unhealthy mind).
Dalam perkawinan, suami-istri dan anak adalah keluarga inti (nuclear family) yang ideal. Namun, dalam perjalanan perkawinan, ada suami yang merasa tidak cukup hanya dengan satu perempuan (istri) dengan berbagai alasan yang mendiskreditkan istrinya demi menutupi keserakahannya, sehingga perselingkuhan terjadi. Ada yang berselingkuh tanpa pernikahan; ada yang ketahuan, tapi dua-duanya tidak dilepas dan terjadi konflik suami-istri; ada pula yang berakhir dengan pernikahan dengan selingkuhan (tanpa atau dengan menceraikan istri pertamanya). Tak ada perselingkuhan yang membuat pelakunya hidup tentram dan damai, tapi justru pasangan selingkuh ini hidup dalam kekacauan, sana-sini bohong. Alih-alih menjadi simpel, hidup malah menjadi lebih rumit (life is more complicated) karena “all he needs is more.”
Korupsi terjadi karena ”all you need is more.” Ini karena seseorang ingin sesuatu yang lebih banyak (serakah), dan korupsi adalah salah satu jalan pintas untuk mengumpulkan uang secara instan adalah korupsi. Seorang pejabat, misalnya, yang dari gaji dan tunjangan jabatan serta fasilitas lainnya, ia dan keluarganya sudah dapat hidup lebih dari cukup. Namun, keinginan yang tak terkontrol menyebabkan ia kemudian mengenyampingkan moralitas. Jika para pejabat meresapi respon Print terkait “all you need is less,” maka segala bentuk “more” akan menjadi alien dalam kehidupan yang bersangkutan. Yang menyedihkan adalah meskipun telah banyak pejabat yang tertangkap karena korupsi, ini tidak menjadi pelajaran bagi yang lain karena bagi koruptor, korupsi bukanlah kejahatan, tapi korupsi adalah “fitnahan” atau “politisasi” sebagai pembenaran atas apa yang dilakukannya. Kesadaran akan the power of less (less greedy) justru dapat menekan perilaku korupsi itu sendiri. (*)