English English Indonesian Indonesian
oleh

Wisata Permandian Air Panas Lejja yang Masih Dikeramatkan

Oleh Rismayanti
Dosen FIB Unhas

Malam pukul 23.00 lewat, kami tiba di Soppeng, Sabtu, 4 Januari 2025. Kami menginap di Hotel Hakata Lejja. Tampak luar, hotel ini terlihat menyejukkan, tentu saja itu karena hotel yang berada di tengah-tengah lahan yang asri dikelilingi pepohonan dan kebun buah. Lalu saya melangkahkan kaki memasuki lobi, area yang estetik karena ornamen dan tampak lapangan tenis di halaman. Di lobi disediakan alat pijat kaki, seorang rekan dosen tanpa ragu mengfungsikan alat itu dengan memasukkan kedua kakinya. Sembari itu saya menerima kunci kamar dari resepsionis.

Melewati dari kamar ke kamar, saya menemukan nomor kamar yang dicari. Pintu kamar dibuka, tampak ranjang dan latar ornamen ala-ala Jepang. Kupikir apa hotel ini memang didesain nuansa Jepang yang seperti namanya Hakata.

Keesokan paginya, saya bangun karena ketukan salah seorang dosen untuk segera sarapan. Ah, untungnya saya dibangunkan karena ternyata semalam telah kumatikan telepon genggam. Tidur yang terlanjur pulas dari perjalanan Toraja. Tubuh yang tak dapat dikompromi karena lelahnya dari lintas daerah yang satu ke daerah yang lain. Perjalanan bersama dosen-dosen Unhas yang dalam rangka pengabdian. Tapi bagian ini bukanlah bercerita tentang tridarma dosen. Saya ingin bercerita tentang pemandian air panas Lejja. Kami berkesempatan mengunjungi permandian Lejja di sela-sela kami melaksanakan pengabdian.

Setelah sarapan pagi bersama teman-teman, kami menuju ke permandian air panas Lejja dengan menggunakan Shuttle yang telah disiapkan hotel. Butuh sekitar 10 kilometer perjalanan menuju lokasi. Sesampainya di sana, ada banyak pedagang sepanjang jalan menjajakan jajanan dan baju kaus oleh-oleh yang bertuliskan Lejja. Untuk karcis masuk, merogoh kocek Rp35 ribu per kepala. Ada gazebo yang disiapkan untuk pengunjung, itu pun kalau mau. Hitungan gazebonya per jam Rp70 ribu. Kami pun memilih salah satu gazebo yang terdekat dengan kolam. Teman-teman yang lain langsung mengganti baju dan berendam di kolam yang airnya panas itu.

Perlahan saya mencelupkan kaki ke dalam kolam. Nyatanya, kaki ini belum bisa bersahabat dengan air yang begitu panas. Menurut saya, airnya lumayan panas, tapi ada juga merasa airnya cuman hangat. Saya mencoba kolam yang lainnya, nyatanya lebih panas lagi. Maka, saya pun memilih menanjaki anak tangga lagi untuk mencari sumber air panas ini berasal. Semakin menanjak, kita akan melihat pohon besar dan di bawah pohon itulah sumber air panas itu. Ada beberapa ornamen berbentuk rumah-rumahan mini yang dibuat. Ada pula banyak kantongan plastik yang terbungkus dan di gantung di tepi pagar kecil pohon itu.

Sambil mengamati dan bertanya-tanya ini apa yah, meskipun sebelumnya saya tahu kalau permandian air Lejja ini dikeramatkan. Konon katanya, orang-orang datang ke sini berwudhu lalu bernazar. Tidak lama, datanglah seorang bapak paruh bayah bersama istrinya. Lalu ada juga pasangan muda-mudi saling bergandengan tangan. Mereka mengambil air wudhu dari air panas yang mengalir, lalu meletakkan pisang kapok dan dan sebuah kelapa muda.

Ketika mereka ingin beranjak. Saya dekati dan bertanya kepada Bapak itu. Bapak itu menjelaskan kalau ini adalah bagian dari nazarnya, kalau anaknya menikah akan kembali ke permandian air panas ini membawa pisang dan kelapa. “Ini kembali dari niat ji, Nak.”

Setelah bersalaman untuk pergi, saya lalu memasuki sebuah rumah panggung. Letaknya tak jauh dari pohon besar itu. Anak tangga saya naiki, lalu memberi salam. Seorang bapak paruh bayah yang sedang duduk menyambut. Di rumah itu, terdapat kasur kecil dan bantal yang telah dikelambui. Saya mulai obrolan dengan menanyakan nama bapak itu dan usianya, Bapak itu hanya mengeluarkan KTP-nya yang usang. La Saide namanya, kelahiran 1930.

Tak banyak obrolan. Bapak itu pun menyuruhku mengambil botol kosong dan mengambil air panas yang keluar dari bawah akar pohon besar. Botol saya isi. Ini untuk menghargai Sang Bapak. Setelah mengambil air dan saya kembali ke Bapak tadi, botol berisi air diraihnya dan dia berdoa, “ma’baca” dalam bahasa Bugis. “Doakan ka Pak nah sehat selalu dan sukses ka.”

“Aamiin, Nak. Insyaallah.” Dia lalu meminta saya mengusapkan air itu ke wajah. Selesai, kemudian, saya pamit. Ini adalah sebuah pengalaman menarik tersendiri bagi saya dan menghargai kebudayaan setempat. Seperti kata pepatah lama mengatakan “Lain lubuk lain ilalang”. (*/)

News Feed