Asrianti yang juga Ketua Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (APPBIPA) Cabang Sulawesi Tengah itu kemudian membagikan pengalamannya mengajarkan Bahasa dan Sastra Indonesia kepada orang asing di luar negeri, antara lain di Laos, Rusia, dan Afrika Selatan.
Ia menyampaikan bahwa dirinya tak hanya mengajarkan bahasa, tapi juga menggunakan pendekatan budaya. Asrianti, yang asal Sulawesi Selatan itu, antara lain menggunakan puisi dan pantun. Juga praktik membuat barongko, saat mengajarkan Bahasa Indonesia.
“Kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia ini dilakukan di KBRI atau KJRI setempat,” ulasnya.
Pegiat Literasi dan Pemerhati Isu Anak Rusdin Tompo mengemukakan, bahwa nenek moyang orang Sulawesi Selatan kaya dengan literasi dan sastra. Salah satu buktinya, adalah epos La Galigo yang sudah diakui badan PBB Unesco.
Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan itu lalu mengambil contoh salah satu cerita yang ada di La Galigo, yakni Meong Palo Karellae. Ia menyampaikan bahwa cerita ini bukan hanya menggambarkan tentang kucing belang tiga yang merupakan pengawal setia Sangiang Seri (Dewi Padi) tapi semangat orang Sulawesi Selatan menjadikan daerah ini sebagai lumbung pangan.
“Saya tak hanya menjadikan sastra sebagai bahan bacaan, dan media bagi anak mengekspresikan dirinya, tapi juga untuk membangun kesadaran kritis mereka,” terang Rusdin Tompo yang dikenal sebagai pegiat Sekolah Ramah Anak itu.
Demisioner Kepala Suku Bengkel Sastra Dema JBSI FBS UNM periode 2022-2023, Zulhijjah, mengutarakan, sastra itu komplit, karena semua nilai ada di sastra. Baik moral, religius, budaya, hingga sejarah. Zul, sapaannya, mengutarakan bahwa membaca karya sastra akan mengantar kita memasuki jendela dunia.