Aidir Amin Daud
Pertama kali berkunjung ke San Fransisco, California Amerika Serikat sekitar 24 tahun yang lalu. Saya menelpon Nursadik (sekarang gurubesar dan pernah menjadi Rektor President University) — dosen Fisipol Unhas yang sedang mengambil S2 di sana. Saya ingat ia menjemput saya dengan mobil VW seri Golf barunya. Membawa saya ke Golden Gate dan mentraktir makan saya di sebuah resto Indonesia. Menjelaskan kepada saya mengapa kota ini begitu berbeda dengan kota-kota lain yang saya sudah kunjungi: New York, Washington, Ohio, Houston dan lainnya. Saat itu kami sempat mendendangkan lagu San Fransisco Scott McKenzie. //If you’re going to San Francisco..// Be sure to wear some flowers in your hair.// Nursadik sepertinya menyiapkan kaset lagu ini di mobilnya.
**
Lama saya tak berkunjung ke San Fransisco meski punya kesempatan dinas beberapa kali ke Amerika. Sekitar 8 tahun lalu saya sempat ke San Fransisco mendampingi Menteri Yasonna Laoly tetapi tidak ke mana-mana selain menghadiri beberapa kegiatan resmi.
Banyak orang menyatakan, San Fransisco adalah salah satu kota dunia yang paling indah. Kota dengan perbukitannya. Keramahan penduduk dan beberapa peninggalan sejarah yang paling membekas: penjara Al-Catraz yang berada di sebuah pulau di teluk San Fransisco.
San Francisco memang kota yang terletak di Teluk San Francisco. Jembatan yang paling ikonik di dunia — Golden Gate: jembatan merah yang megah melintang di atas Teluk San Francisco. Termasuk Taman Golden Gate: taman kota terbesar di Amerika Serikat, menawarkan keindahan alam dan fasilitas rekreasi.
Selain itu ada Distrik Fisherman’s Wharf: Kawasan pelabuhan yang terkenal dengan restoran laut, toko-toko, dan pemandangan teluk. Semuanya membuat orang yang pernah berada dan menikmati kota ini, akan susah melupakannya. Seperti lagu yang dinyanyikan Tony Bennet: I Love My Heart in San Fransisco.
Kota ini terkenal dengan toleransinya dan keberagamannya. Kota ini memiliki komunitas Asia, Latin, Afrika, dan Eropa yang besar dan beragam. Termasuk China Town yang begitu luas dan amat hidup berdampingan dengan kegiatan bisnis dan IT yang begitu hidup di sini: financial distrik. Semua jenis rumah ibadah terbangun di sini. Setidaknya ada tiga masjid besar di San Fransisco. Selain itu sejarah gerakan hak asasi manusia — juga menjadi bagian dari San Fransisco.
Namun ada satu hal yang membuat banyak kalangan kurang menyukai San Fransisco karena dukungannya yang luarbiasa kepada gerakan LGBT termasuk mensponsori berbagai kegiatan LGBT tingkat dunia. Apapun San Francisco adalah kota yang memadukan keindahan alam, toleransi, dan kebudayaan yang beragam, menjadi pusat berkembangnya teknologi, IT, AI termasuk banyak perusahaan starup, menjadikannya destinasi wisata yang menarik dan inspiratif.
**
Selama sepekan kemarin — saya berkesempatan kembali mengunjungi San Fransisco. Sebuah kota yang tak banyak berubah dan kali ini saya memutuskan menikmati Fisherman’s Wharf (menikmati kuliner seafood khas nelayan Amerika), Union Square, China Town (termasuk menikmati kuliner China Penang hingga Jepang).
Kota yang juga memamerkan taksi Waymo (tanpa supir manusia) yang bersewileran di semua sudut kota dan sisi jalanan. Sebagai simbol keperkasaan teknologi Amerika yang mulai dipecundangi oleh China.
Menuju ke bandara supir yang mengantar saya: Samba asal Senegal bercerita bagaimana indah dan tolerannya kota ini. Ia menceritakan bagaimana umat beragama apapun termasuk mereka yang tak beragama — bisa melaksanakan ibadah mereka dengan tenang dan bebas. Hal yang sama disampaikan oleh Heng Hui — seorang pemuda China — yang menjemput saya ketika tiba di bandara San Fransisco. Meski baru 9 tahunan bermukim di San Fransisco ia sudah membulatkan tekad setelah menikah nanti akan tetap tinggal di San Fransisco. Ia merasa memiliki penghasilan yang cukup sebagai supir taksi online. “Saya cukup dan merasa kota ini memberikan kehidupan yang baik.”
Saya mencoba berjalan — bagaimana trotoar bagi pejalan selalu ada di setiap jalan apapun dengan pohon pelindung yang dibiarkan tumbuh lebat seakan ingin menusuk tembok-tembok gedung tinggi yang membatasi pertumbuhan ranting mereka.
Kota yang memiliki fasilitas angkutan umum yang paripurna termasuk cabel-car yang sudah berusia ratusan tahun, tetap menjaga agar fasilitas pejalan kaki tetap harus ada di dua sisi jalan. Terlalu jauh membandingkan San Fransisco dengan Kota Makassar. Tetapi jika keinginan pemerintah ada, maka fasilitas pejalan kaki mungkin sudah bisa dibangun di beberapa jalan utama kota ini. Supaya suatu hari nanti, orang juga meninggalkan hatinya di Makassar. Tak hanya, left they heart in San Fransisco. ****