Ada beberapa poin penting yang harusnya disorot dan didiskusikan, antara lain: 1). Reklamasi pantai pada mega proyek pembangunan CPI (centre point of Indonesia). Ini juga mempengaruhi banjir di area sekitar pantai losari. 2). Pembangunan yang tidak berbasis RTRW Kota makassar. Misalnya, Makassar dijuluki “kota ruko” di mana pembagunannya terkadang menutup saluran drainase, yang juga memiliiki andil dan pemicu terjadinya banjir. (3) Lahan Basah (Wetland) dan RTH yang dari tahun ke tahun terus berkurang juga, sehingga menjadi pemicu terjadinya banjir. 4). Pemanfaatan air tanah yang berlebihan harus segera dihentikan. 5). Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang dan Tallo, harus dirawat dan dinyatakan sebagai critical zone. “Begitulah perspektif saya,” ungkap Arifin.
Sesungguhnya, telah banyak hasil riset terkait banjir yang dapat membantu untuk memetakan persoalan banjir. Seperti riset tentang zona rawan banjir, persoalan mitigasi dan adaptasi, serta yang lainnya. “Itu semua harusnya dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk merumuskan solusi menangani banjir Makassar,” ungkap Ishak Salim, yang juga selaku akademisi Universitas Hasanuddin.
“Penguatan dan ketahanan masyarakat untuk menghadapi persoalan banjir, perlu dipikirkan bersama. Hal ini penting untuk membangun kesiapan dan kebersamaan masyarakat dalam menghadapi banjir, seperti bantuan, donasi, dan banyak lagi,” sambung Dr Ishak.
Media juga sebaiknya didorong memberitakan bagaimana warga dengan kemampuannya sendiri, berusaha untuk menangani masalah banjir. Sehingga, nantinya dapat membangun kesadaran kolektif, baik di pemerintahan maupun masyarakat itu sendiri. Maka seharusnya, permerintah melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan yang akan dijalankan untuk penanganan banjir.