Oleh Aswar Hasan
Tulisan saya berjudul; “Cetak Uang Palsu di UINAM” rupanya menarik perhatian, salah satu menanggapinya dengan menulis chat ke saya dengan mengatakan; “Kasus uang palsu di UIN Alauddin memang menarik tuk ditelisik lebih jauh. Ada apa dgn kampus-kampus kita di Makassar. Karena sebelum kasus penemuan mesin cetak uang palsu di UIN Alauddin, juga ada sejumlah kasus di kampus lain.”
Penemuan bunker narkoba di Kampus Parangtambung UNM. Lalu ada ribut-ribut kasus korupsi di rektorat UMI. Berikutnya, kasus pelecehan seksual di Unhas (belakangan juga terungkap kasus sama di Unidipa). Kira-kira, selepas UIN Alauddin dengan kasus uang palsunya, kampus mana lagi yg akan menyusul dengan kasus berbeda dengan nada negatif?
Prof. Nurul Ilmi Idrus dalam Kolom Suara menulis, bahwa; “Kewibawaan perguruan tinggi tergerus oleh berbagai peristiwa memalukan yang dilakukan oknum-oknum perguruan tinggi, baik oleh dosen, tenaga pendidikan tinggi (tindik) maupun mahasiswa. Kewibawaan perguruan tinggi tercoreng dan pada banyak peristiwa, selalu terlambat ibarat pemadam kebakaran yang datang setelah api membesar.”
Sementara itu, wartawan senior Andi Suruji menulis kolom di Celebes Media dengan judul: “Kampus dan Moralitas” sungguh menguliti moralitas dan intelektualitas kaum akademisi di Kampus. Beliau diantaranya menulis bahwa: “Idealnya, kampus menjadi mercu suara, menara api yang menerangi sekelilingnya. Menavigasi masyarakat mengarungi dan menaklukkan badai samudera kehidupan yang penuh tantangan.
Tetapi kita terkecoh dan mungkin kecewa dengan das sein das sollen dunia kampus saat ini. Sebab, bukan di bidang core competence kampus mereka menjadi terkenal alias viral belakangan ini, setelah menumbangkan Orde Baru seperempat abad lampau. Bahkan sifat dan perilaku Orde Baru yang dahulu dibenci, diganyang, dan ditumbangkan, justru kini terkesan malah subur bersemai di kampus-kampus. Ada saja manusia kampus dengan kasat mata terlihat menjadi alat kepentingan politik pragmatis. Bersuara bukan lagi menggemakan hakikat dan idealisme keilmuan murni. Tetapi menjadi alat politis yang ditumpangi sekaligus menumpangi kepentingan poitik praktis penguasa dan kekuasaan. Bahkan manusia-manusia kampus yang sejatinya berintegritas kokoh dalam menjaga tegaknya independensi lembaga, tidak sedikit yang datang menghamba. Menelanjangi dirinya di hadapan penguasa atau politisi demi suatu jabatan di kampus maupun di luar kampus.
Dalam hal jabatan rektor misalnya. Siapa yang datang ke penguasa dan dekat dengannya maka dialah bakal terpilih. Kondisi ini pada akhirnya cascading (menurun atau merambat) ke seluruh struktur dan organ tubuh kampus. Pada titik ini, maka kampus sudah jauh melenceng meninggalkan muruahnya. Dunia kampus di titik nadir tradisi akademik, budaya penelitian dan seni inovasi pengabdian pada masyarakat.
Boleh jadi, itulah sebagian faktor penyebab sakitnya dunia kampus tertentu. Pendidikan (akademik) hanya sekadar formalitas. Penelitian cuma mengejar cum (kredit). Pengabdian pada masyarakat hambar tanpa rasa yang membekas.
Bagaimana cerita moralitas bangsa jika di kampus, tempat orang seharusnya ditempa karakternya untuk bermoral tinggi, justru akal sehat dan moralitas terkoyak-koyak di sana. Bukankah kampus merupakan ladang pesemaian intelektualitas dan moralitas generasi bangsa.
Berada di dunia kampus karena pilihan hidup, sejatinya suatu kehormatan dan penghormatan yang amat tinggi. Noblesse oblige. Pada setiap kehormatan melekat tanggung jawab besar.
Pertanyaan krusialnya adalah apakah rangkaian dari semua peristiwa itu, merupakan cermin dari demoralisasi kampus? Wallahu a’lam bisawwabe. (*)