M. Qasim Mathar
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya:107)
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan'” (QS. Yunus: 58)
“Sungguh telah datang pada kalian seorang Rasul dari kaum kalian, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (kebaikan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. Attaubah: 128). Di dalam kitab suci Al-Qur’an, nabi itu disebut pula sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dikatakan pula bahwa kepada setiap ummat dikirim “pemimpin” yang mengemban tugas kenabian.
Karena itu, pernyataan bahwa Nabi Muhammad adalah “khatamun nabiyyin”, yang sering diartikan “penutup para nabi”, tetap juga ada yang menafsirkannya secara berbeda. “Khatamun nabiyyin” ditafsirkan bahwa, Nabi Muhammad SAW adalah “meterai” para nabi, sehingga tidak ada nabi yang dianggap benar jika kenabiannya tidak bermeteraikan Nabi Muhammad SAW. Atau, bahwa kenabian semua nabi terdahulu harus dikuatkan dan disahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tanpa pengesahan dan kesaksian dari ajaran Nabi Muhammad SAW, tidak ada seorangpun yang dapat mencapai tingkat kenabian atau walayat. Keterangan yang terakhir ini, masih bisa didiskusikan (debatable). Mungkinkah seorang presiden hingga seorang rektor dipandang sebagai nabi? Kata saya, mungkin, selama melekat pada dirinya sifat² kenabian dan sadar bahwa dia mengemban tugas kenabian atas bangsa dan negaranya. Atau, ummat universitas (civitas akademika)nya bagi seorang rektor.