English English Indonesian Indonesian
oleh

Siri’ na Pacce Penanganan Kekerasan Seksual di Unhas

Oleh: Ulla Mappatang / Alumni FIB Unhas, Mahasiswa Doktoral University of Malaya

Tanpa nilai, universitas hanya menamatkan “new educated barbarian” (orang biadab baru yang terpelajar). (Alwy Rachman, 2012, dari Jose Ortega Y Gasset, The Mission of the University)[1]

Kutipan di atas adalah pengingat kuat pada apa yang terjadi di Universitas Hasanuddin (Unhas) sekarang ini. Kasus kekerasan seksual yang terungkap belakangan laksana gunung es sekaligus kotak pandora terhadap apa yang sedang dialami Universitas ternama di bagian Timur Indonesia itu.

Dibilang fenomena gunung es karena bagi banyak pihak, termasuk para alumni, kejadian pelecehan dan kekerasan seksual di dalam Unhas dinilai bukan hal baru sekaligus ibarat terpendam di dasar lautan. Seperti kotak pandora, karena dengan terkuaknya satu kasus di Fakultas Ilmu Budaya ke publik, yang ramai di media dan viral di media sosial, membuat topik ini beterbangan ke perbincangan publik dan semakin tidak terkendali.

Persis kisah “pandora box” dalam mitologi Yunani: sekali kotak terbuka, “hantu – hantu” dan “keburukan” serta hal hal jelek yang selama ini disimpan rapat – rapat dalam kotak pandora, beterbangan berhamburan keluar tidak terkendali. Unhas, seperti kelabakan dan “panik” tak karu karuan seperti “kotak pandora” miliknya sedang terbuka, justru oleh ulah (dosen-) dosennya sendiri.

Siri’ na Pacce

Terbukanya kotak pandora Universitas Hasanuddin itu, kalau boleh diibaratkan demikian, sekaligus membuka topeng kampus ini sesungguhnya. Sejarah ingin berkata bahwa “serapat apapun keburukan itu disimpan dan dipendam rapat – rapat, akhirnya keluar juga”. Boleh jadi, Unhas berikut pejabat – pejabatnya hari ini, sedang dibuka topengnya, ataupun diuji kapasitasnya. Seberapa mampu mengurus Universitas?

Mari kembali kepada topik “nilai” kutipan Alwy Rachman di atas pada dua belas tahun silam itu di sebuah Seminar Pendidikan di FIB Unhas.

Dalam kebudayaan Makassar, tempat Unhas berada, Siri’ adalah rasa malu, yang menyangkut harga diri. Sementara itu, pacce adalah rasa empati dan solidaritas terhadap sesama. Kebudayaan Makassar mengenal pemasangan dua nilai dalam praktik kesehariannya. Contohnya dengan memasangkan siri’ dengan pacce[2]. Artinya, harga diri dan rasa malu mesti diiringi oleh sifat empati dan solidaritas atas sesama. Rasa malu dan harga diri tanpa nilai empati dan solidaritas adalah tidak cukup. Begitupula empati dan solidaritas tanpa harga diri dan rasa malu bisa kebablasan. Olehnya, pemasangan nilai ini dapat dinilai sebagai “strategi kebudayaan” orang Makassar dalam menghadapi dinamika sosial budaya dalam kehidupannya.

Pasangan lain misalnya Caradde na kontu tojeng, yang berarti cerdas dan jujur, barani na toddopuli, yaitu berani dan teguh pendirian. Dalam masyarakat Bugis dikenal pasangan Siri’ na Pesse (Harga diri dan empati/solidaritas), Warani na macca (berani dan cerdas) serta lempu na getteng (jujur dan teguh pendirian). Semuanya adalah pasangan – pasangan nilai yang sepatutnya menjadi landasan serta alas gerak masyarakat di Makassar, Sulawesi Selatan, termasuk di Unhas, terutama di FIB Unhas, tempat nilai – nilai ini dipelajari dan diajarkan.

Dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di Unhas belakangan, implementasi pasangan nilai siri’ na pacce pertama sekali mesti ditujukan kepada “keberpihakan kepada korban”, bukan sebaliknya keberpihakan kepada pelaku atas nama menjaga nama baik institusi. 

Pada Kenyataannya…….

Nyatanya, Unhas seperti denial (menyangkal) atau tak sepenuh hati menerima kenyataan apalagi mengakui secara terbuka bahwa ada ketidakberesan di internal yang sedang terjadi. Baru setelah kasus ini terungkap di media, Unhas baru kelihatan kelabakan. Klarifikasi sana sini dilakukan, bahkan, dari beberapa liputan media[3], dan pers Mahasiswa[4], Unhas seperti “resisten” kalau tidak “terkesan membela ataupun melindungi” pelaku. Pun tidak ingin dikata begitu, seperti ada upaya “proteksi” terhadap pelaku, mungkin dengan dalih menjaga nama baik “institusi”, yang sebenarnya dirusak oleh pelaku yang “terkesan” dilindunginya itu. Hal itu semua jauh dari langkah awal yang sepatutnya Unhas lakukan yaitu “berpihak kepada korban kekerasan seksual”. 

Bukti penyangkalan atau pengabaian dan ketidakseriusan bersikap tegas itu adalah Unhas begitu lambat mengumumkan Surat Rekomendasi Pemecatan” pelaku ke Kemendikti Saintek. Baru setelah pelbagai peristiwa demonstrasi terjadi – yang tidak berhasil “diredamnya”– lalu keluarnya Surat DO kepada salah satu aktivis Mahasiswa FIB Unhas, dan luapan kemarahan protes Mahasiswa tidak berhasil dikendalikan yang diikuti dengan penangkapan aktivis FIB Unhas dan jurnalis pers Mahasiswa[5], Unhas kemudian mengumumkan rekomendasi Surat Pemecatan tersebut. Itupun, sampai hari ini, wujud surat rekomendasi pemecatan tersebut belum dapat diakses oleh publik, apakah karena belum dipublikasi saja ataukah memang belum dibuat sama sekali. Publik masih menunggu ketegasan Unhas yang satu ini, apakah hanya isapan jempol belaka atau bukan. 

Sekali lagi, Unhas menunjukkan sikap meragukan dari segi ketegasannya ke publik. Dari pengambilan sikap kurang tegas dan sikap denial (terkesan menyangkal) di awal, dan sikapnya yang resisten dan “main kayu”[6] atas protes aktivis Mahasiswa saja, sudah menunjukkan topeng sebenarnya pejabat – pejabat di kampus ini: “nyaris tidak ada perwujudan sikap Siri’ na Pacce kepada korban”. Yang ada adalah penilaian terhadap nilai Siri’ na pacce yang disalah artikan dan disalahgunakan dengan menganggap siri’ itu dengan cara menutupi “rasa malu institusi” dan pesse adalah melindungi sesama dosen yang merupakan pelaku, atau minimal tidak menindakinya secara tegas.

Salah guna pasangan nilai Siri’ na Pacce tersebut dilakukan dengan pengabaian “pasal satu” dalam penanganan kekerasan seksual di Universitas, yaitu “keberpihakan kepada korban”. Langkah awal ini jauh diabaikan dengan cerminan pada pengakuan korban pada liputan media yang hadir di khalayak pembaca. Misalnya, salah seorang anggota satgas dengan sengaja membujuk pelaku dan membela kepentingan korban merupakan pelanggaran yang tidak ditindak tegas juga oleh Satgas PPKS Unhas[7]. Hal tersebut terkesan dibiarkan saja dengan hanya memberikan teguran sebagai sanksinya. Mestinya, pelaku perayu korban dari anggota Satgas PPKS dengan membawa kepentingan pelaku kekerasan seksual tersebut sudah dipecat dari Satgas.

Sikap tegas mestinya dilakukan jika Unhas ingin “citranya” baik. Termasuk dengan menunjukkan surat rekomendasi pemecatan pelaku dari awal adalah cara untuk menyelamatkan muka institusi yang sudah kepalang basah, mestinya mandi saja sekalian supaya bersih. Belum lagi keterlibatan seorang dosen FIB Unhas yang dibiarkan menemani polisi mendatangi rumah korban adalah tindakan yang menunjukkan ketidakberpihakan dalam menjaga kondisi psikologis korban[8]. Hal ini juga berlalu tanpa sanksi atau minimal teguran kepada dosen bersangkutan dan permohonan maaf kepada korban yang telah tertekan akibat tindakan tidak bersahabat kepada korban tersebut.

Hal ini menimbulkan kecurigaan kalau memang pihak rektorat dan dekanat di Unhas terlibat dalam tindakan di luar batas kewajaran ini. Boleh dikata, hampir semua hal – hal baik yang berpihak kepada korban tidak dilakukan, bahkan untuk mengambil kesempatan memperbaiki citranya yang sedang buruk pun, Unhas tidak lakukan. Malah berbuat sebaliknya: abai dan bebal.

Catatan Kritis

Dari pelbagai rentetan peristiwa yang dipertontonkan Unhas sejak kasus kekerasan seksual di FIB Unhas ini bergulir, terdapat dua kesan yang menghinggapi perasaan publik, terutama para alumni yang mengikuti perkembangan penanganan kasus ini secara intensif, yaitu: abai dan bebal. Abai dan terkesan menyangkal dibuktikan dengan tidak terbukanya Unhas terhadap publik di awal – awal “meledaknya” pemberitaan kasus ini di media dan media sosial. Belum lagi, upaya – upaya yang dilakukan dalam meredam aksi protes dan pemberitaan kritis yang tidak menunjukkan sikap demokratis tersebut, terutama dengan adanya penangkapan secara membabi buta kepada aktivis di FIB Unhas juga menunjukkan kebebalan pimpinan Unhas terhadap kritik. Termasuk tindakan represif kepada jurnalis pers Mahasiswa, yang ternyata juga dibarengi pelaporan “salah alamat” oleh pihak rektorat Unhas terhadap pemberitaan pers Mahasiswa adalah daftar panjang kebebalan rektorat Unhas terhadap masukan dari Mahasiswanya sendiri. Bukti – bukti ini menunjukkan lebih dari cukup bahwa rektorat Unhas dan Dekanat FIB Unhas cukup “bebal” dari protes Mahasiswa ketika “buruk rupa”-nya coba ditegur. Ibarat pepatah “Buruk rupa cermin dibelah”. 

Bebal sesungguhnya adalah pokok pokok pikiran Professor Syed Hussein Alatas, seorang intelektual terkemuka Asia Tenggara yang tegas mengkritik praktik kepemimpinan yang menindas[9]. Bebal adalah ciri seseorang, pemimpin, ataupun institusi yang menolak berubah meski sudah nyata – nyata berbuat kesalahan. Bebal inipun seringkali diikuti oleh sifat Jadong, singkatan dari Jahat, bodoh, dan sombong. Pengingkaran terhadap nilai budaya Makassar, Siri na Pacce (rasa malu dan empati) terhadap korban kekerasan seksual di Unhas adalah contoh sikap bebal yang diikuti jadong ini.

Dilihat dari caranya “menyangkal”, berusaha menutupi kasus, sampai merepresi protes yang ada, Unhas memang seperti mati – matian membela diri ketimbang mengakui “buruk rupa”-nya. Inilah karakteristik dari sikap bebal yang diikuti dengan sifat Jadong kata Professor Syed Hussein Alatas. Jahat karena “main kayu” terhadap aktivisnya dan masih terkesan membela dan melindungi pelaku. Termasuk oknum Satgas PPKS yang merayu korban untuk “berdamai” dengan pelaku itu jahat. Apatahlagi, jika ada oknum dosen dan pejabat kampus yang secara langsung atau tidak langsung masih membela dan mengurusi pelaku agar tidak dihukum berat atau mencarikan tempat pelarian “sementara” di luar sana, itu juga adalah kejahatan.

Bodoh, karena bukannya memegang nilai siri’ na pacce secara benar dan pantas dengan menggunakan perspektif korban dalam penanganan kasus, beberapa pihak malah cenderung menggunakan perspektif pelaku dan berdalih menjaga nama baik institusi dengan menutup – nutupi serta terkesan membela pelaku. Salah satu sikap bodoh lainnya adalah dengan melaporkan karya jurnalistik ke polisi yang merupakan ranah Dewan Pers, dan seolah berusaha meredam pemberitaan media atau meminta pers Mahasiswa “cooling down” pemberitaannya, sebab tidak ingin publik tahu karena merasa “malu”. Padahal, justru ketika berani mengakui kesalahan dan bersedia memperbaiki kesalahan, akan menjadikan citra Unhas cepat pulih.

Sombong, karena dengan rentetan kesalahan dan kekeliruan serta kebebalan yang ditunjukkannya, Unhas melalui rektorat dan dekanatnya justru mengeluarkan SK DO dan terkesan masih merasa benar dan imejnya baik – baik saja. Termasuk melaporkan Mahasiswa ke polisi dan membiarkan Mahasiswa tak bersalah ditangkap satu per satu merupakan kesombongan pimpinan yang menolak untuk dikoreksi. Kesombongan yang didasari dari sikap bebal ini memang tak dapat dihindari dari pimpinan yang tidak bersedia secara tulus mengasuh anak – anaknya di Universitas. Alih – alih menggunakan pendekatan edukatif, malah menggunakan pendekatan represif dan polisinil. Celaka sekali jika para profesor dan Doktor yang menjadi pejabat dan pimpinan Universitas itu lebih percaya polisi daripada dirinya sendiri sebagai pendidik untuk menghadapi dinamika berproses Mahasiswanya. Sebenarnya, pejabat demikian jauh lebih terhormat jika berhenti saja dari jabatannya ketimbang terus mempertontongkan kesombongannya di hadapan Mahasiswa dan masyarakat, termasuk alumni yang peduli.

Padahal, publik memiliki penilaiannya sendiri yang tidak bisa dikendalikan oleh Universitas apalagi oleh kepentingan pelaku. Unhas tidak sepatutnya terus – terusan menutup telinga untuk mendengar pandangan dan masukan dari luar terhadap segala kebusukan di dalam yang sudah tercium sampai di luar. Bahkan, di luar negeri pun, para sarjana di kampus kenamaan yang pernah dan sedang ada hubungan dengan Unhas beberapa sudah tahu kalau ada “masalah serius” yang sedang melanda kampus ternama di Makassar ini. Tapi, masih saja seperti membusungkan dada ketika berada di luar seolah tidak terjadi hal krusial di rumah sendiri.

Alih – alih menjaga citra di luar sana, malah Unhas dengan sikap tertutup, abai, dan bebal seperti ini justru akan membuat citranya lebih memburuk dan dapat terus mengurangi kepercayaan publik terhadapnya. Termasuk dari alumni sendiri yang merasa anaknya terancam jika dipercayakan kepada Unhas untuk dididik. Belum lagi, mitra internasional yang senantiasa “dimohon” untuk meningkatkan reputasi kampus ini di kancah internasional, tentu tidak ingin menitipkan kepercayaannya kepada kampus yang “sedang bermasalah” secara serius di mata mereka. Siapa juga yang ingin rugi bermitra dengan pihak yang di rumahnya sendiri sedang ada “duri”, kan? Bagaimanapun, reputasi dan kepercayaan adalah segalanya bagi sebuah kerjasama bertaraf internasional.

Pada akhirnya, tulisan ini berusaha mengingatkan kepada pihak berwenang di Universitas Hasanuddin agar menyelesaikan kasus kekerasan seksual di kampus ini dengan asas dasar yaitu “berpihak kepada korban”. Ketimbang menunjukkan sikap yang terkesan menyangkal, abai, tertutup,dan yang paling parah bersikap bebal serta “diam – diam” apalagi “sembunyi – sembunyi membela (para) pelaku. Nilai dasar seperti Siri’ na pacce sebagai jiwa dalam mengelola Universitas perlu diamalkan sebaik – baiknya, setulus – tulusnya daripada menyalahgunakannya sembari main kayu di tengah api yang sedang menyala.

Reputasi Unhas jauh lebih terjaga jika pemimpinnya bersikap lebih jujur mengakui kesalahan dan bersungguh – sungguh memperbaikinya. “Sudah – sudahlah membelah cermin yang jujur mengatakan kalau kita memang sedang buruk rupa”. Terima saja. 

            Tentunya, kita semua tidak ingin Unhas terus terpuruk oleh pemimpin – pemimpinnya yang makin bebal dan mengingkari nilai Siri’ na pacce, bukan?

Kuala Lumpur, 16 Desember, 2024


[1] Alwy Rachman. 2012. Refleksi atas 14 Tahun “Reformasi” “, Seminar Pendidikan Perhimpunan Mahasiswa Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin. Aula Prof Mattulada,FIB Unhas, 14 April 2012.

[2] Lihat Alwy Rachman, Seppuku, Seperut, dan Sesarung https://alwyrachman.blogspot.com/2015/12/seppuku-seperut-dan-sesarung.html diakses 16/12/2024, 16:37. ; M. Nawir, Memahami Ishak Ngeljaratan, https://alwyrachman.blogspot.com/2014/05/memahami-ishak-ngeljaratan_19.html diakses 16/12/2024, 16:57. , dan Ibrahim, Anwar, 2002, Sulesana, Kumpulan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal,

Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar.

[3] Lihat Dosen FIB Diduga Lecehkan Mahasiswi di Ruang Kerjanya, Dekan Skorsing 2 Semester. https://makassar.tribunnews.com/2024/11/18/dosen-fib-unhas-makassar-diduga-lecehkan-mahasiswi-di-ruang-kerjanya-sanksi-ringan-dikecam-korban. , diakses 16/12/2024, 14:45

[4] Lihat Bunga: Institusi Penuh Trauma itu Bernama Universitas Hasanuddin. https://www.catatankaki.org/2024/12/09/bunga-institusi-penuh-trauma-itu-bernama-universitas-hasanuddin/ , diakses 16/12/2024, 14:47

[5] Lihat Tidak Ada Dialektika di Kampus Unhas-sebuah catatan penangkapan jurnalis pers mahasiswa https://www.catatankaki.org/2024/12/02/tidak-ada-dialektika-di-kampus-unhas-sebuah-catatan-penangkapan-jurnalis-pers-mahasiswa/ , diakses 16/12/2024, 14:50

[6] Aktivis: Rektorat Unhas Kampungan Hadapi Demo Mahasiswa, Kasus Internal Jadi Isu Nasional. https://makassar.tribunnews.com/2024/11/29/aktivis-rektorat-unhas-kampungan-hadapi-demo-mahasiswa-kasus-internal-jadi-isu-nasional. diakses 16/12/2024, 14:52

[7] Lihat Heboh Staf PPKS Unhas Bela Dosen Cabul, Percakapan dengan Korban Beredar, Prof Farida: Sudah Ditegur.  https://makassar.tribunnews.com/2024/11/30/heboh-staf-ppks-unhas-bela-dosen-cabul-percakapan-dengan-korban-beredar-prof-farida-sudah-ditegur , diakses 16/12/2024, 14:56

[8] Lihat Bunga: Institusi Penuh Trauma itu Bernama Universitas Hasanuddin.

[9] Lihat Syed Farid Alatas, Kepimpinan masyarakat & Bebalisme: Pemikiran Syed Hussein Alatas https://www.malaysiakini.com/columns/355969, diakses 16/12/2024, 14:54; Lihat Bebal yang makin berleluasa https://www.sinarharian.com.my/article/133992/bebal-yang-makin-berleluasa,  diakses 16/12/2024, 14:57.

News Feed