Artinya, Perum Damri harus menanggung biaya operasional sebesar 30 persen. Padahal dalam kenyataan di lapangan, terutama untuk daerah-daerah 3TP (tertinggal, terdepan, terluar, dan perbatasan), tingkat keterisiannya tidak mencapai 30 persen. Perum Damri harus menutup biaya operasional yang tidak dapat ditutup dari pendapatan tiket.
“Jelas, hal itu memberatkan bagi Perum Damri lantaran penumpangnya bukan kelompok masyarakat mampu. Akhirnya hal itu berdampak pada pengeluaran yang harus ditanggung masyarakat. Untuk daerah seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, semestinya kebijakan itu tidak diterapkan,” jelas Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata ini.
Angkutan Jalan Perintis di Perbatasan
Berdasarkan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, sudah membangun 15 Pos Lintas Batas Negara (PLBN).
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2015 tentang Percepatan Pembangunan Tujuh Pos Lintas Batas Negara Terpadu dan Sarana Prasarana Penunjang di Kawasan Perbatasan, yaitu PLBN Aruk, PLBN Entikong, PLBN Badau (Prov Kalimantan Barat), PLBN Motaain, PLBN Wini, PLBN Motamasin (Prov Nusa Tenggara Timur), dan PLBN Skow (Prov Papua).
Sementara berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Percepatan Pambangunan 11 Pos Lintas Batas Negara Terpadu dan Sarana Prasarana Penunjang Dikawasan Perbatasan, yaitu PLBN Serasan (Prov Kepulauan Riau), PLBN Jago Babang (Prov Kalimantan Barat), PLBN Sei Nyamuk, PLBN Labang, PLBN Long Nawan (Prov Kalimantan Utara), PLBN Napan (Prov Nusa Tenggara Timur), PLBN Sota, dan PLBN Yatekun (Prov Papua Selatan).